Skip to content
Sejarah dan Kehendak dalam Agama: Tinjauan Terhadap Keagamaan Semit, Kristus, Arya – Relift Media

Sejarah dan Kehendak dalam Agama: Tinjauan Terhadap Keagamaan Semit, Kristus, Arya Bacaan non-fiksi filsafat

author _Houston Stewart Chamberlain_; date _1899_ genre _Filsafat_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Kita tidak menemukan bahwa, di luar Yudaisme, manusia pernah mencapai konsepsi hubungan personal intim dan terus-menerus antara Tuhan dan umat manusia... Sebenarnya Dewa-dewa Indo-Arya adalah kekuatan-kekuatan pemurah, bersahabat, kita hampir bisa katakan ramah; manusia adalah anak mereka, bukan hamba mereka. Di antara banyak kaum Semit, hanya satu, dan itu salah satu yang paling kecil dan paling lemah secara politik, yang telah mempertahankan diri sebagai sebuah ke­satuan kebangsaan; bangsa kecil ini telah menantang semua badai dan hari ini menjadi fakta unik di antara manusia—tanpa tanah air, tanpa kepala tertinggi, terpencar ke seluruh dunia, terdaftar di antara sebagian besar kebangsaan-kebangsaan yang berlainan, tapi bersatu dan sadar akan per­satuan. Mukjizat ini adalah karya sebuah buku/kitab, Taurat, dengan segala yang ditambahkan padanya sebagai suplemen hingga hari ini. Tapi kitab ini harus dipandang sebagai bukti sebuah jiwa kebangsaan khas, yang pada momen genting dibimbing ke arah ini oleh orang-orang unggul dan berpan­dangan jauh. Dalam bab sesudah bab nanti, aku akan memasuki lebih lengkap asal-usul dan nilai penting tulisan-tulisan kanonis ini. Sementara ini, aku hanya akan meminta perhatian pada fakta bahwa Perjanjian Lama adalah murni karya historis. Jika kita sisihkan beberapa tambahan bela­kangan dan tak penting (misalnya Amsal Sulaiman), setiap kalimat dalam kitab-kitab ini adalah historis; seluruh legis­lasi yang mereka muat juga berdasarkan sejarah, atau seti­daknya memiliki kaitan kronologis dengan peristiwa-peris­tiwa yang dideskripsikan. “Tuhan berfirman kepada Musa,” kurban bakarannya Harun diterima oleh Tuhan, putera-putera Harun terbunuh pada saat pengumuman hukum [Taurat], dll; dan jika ini soal mengada-adakan sesuatu, naratornya menautkannya dengan sebuah cerita fiksi, seperti dalam kitab Ayub, atau dengan sebuah pemalsuan sejarah yang nekat, seperti dalam kitab Ester. Dengan kemenonjolan elemen kronologis ini, Alkitab berbeda dari semua kitab suci lain yang dikenal. Agama yang dikandungnya adalah sebuah elemen dalam naratif sejarah dan bukan sebaliknya; perin­tah-perintah moralnya tidak tumbuh bersama keniscayaan inheren dari kedalaman hati manusia, mereka adalah “hukum”, yang diumumkan di bawah kondisi-kondisi tertentu pada hari-hari tertentu, dan yang bisa dicabut kapan saja. Bandingkan dengan orang-orang Arya India; mereka sering menjumpai pertanyaan-pertanyaan menyangkut asal-usul dunia, dari mana dan ke mana, tapi hal-hal ini tidak esensial bagi peninggian jiwa mereka kepada Tuhan; pertanyaan menyangkut sebab-sebab ini tak ada kaitan dengan agama mereka; bahkan, jauh dari menyematkan nilai penting pada­nya, para pembuat kidung [India] berseru secara hampir mengejek:
Siapa yang tahu dari mana penciptaan berasal? Dia yang dalam cahaya Langit memandangnya, Dia yang menjadikan atau tak menjadikan semuanya, Dia tahu itu! Atau apakah dia juga tak tahu itu?
Goethe, yang sering dijuluki “Pagan agung”, tapi yang lebih pantas disebut “Arya agung”, mengungkapkan panda­ngan yang persis sama ketika berkata, “Menyelidiki sebab secara bergairah tidaklah berbahaya besar.” Demikian pula ilmuwan alam Jerman hari ini berkata, “Dalam Keanantaan tak ada akhir baru dan tak ada awal yang bisa dicari. Sebe­rapa jauh pun kita menetapkan asal-usul ke belakang, tetap saja terbuka pertanyaan terkait yang pertama dari yang per­tama, yang awal dari yang awal.” Orang Yahudi merasakan lain. Dia tahu dengan akurat tentang penciptaan dunia, seakurat orang Indian liar Amerika Selatan atau orang kulit hitam Australia hari ini. Namun, itu bukan disebabkan—sebagaimana suku-suku ini—oleh tak adanya pencerahan, tapi oleh fakta bahwa jejak interogasi melankoli dan men­dalamnya penggembala Arya tak pernah diberi tempat dalam literatur Yahudi; kehendak tiranisnya akan mengharamkan itu, dan kehendak ini adalah kehendak yang sama yang segera membungkam—lewat dogmatisme fanatik—skepti­sisme yang mau tak mau muncul di kalangan kaum yang begitu berbakat (lihat Koheletch, atau Kitab Pengkhotbah). Siapapun yang ingin menguasai “hari ini” harus pula men­cengkeram “hari kemarin” yang darinya “hari ini” tumbuh. Materialisme mengalami kekaraman begitu ia tidak konsis­ten; orang Yahudi diajari itu oleh instingnya yang tak pernah salah, dan dia tahu bagaimana Tuhan menciptakan dunia dan membuat manusia dari segumpal tanah, persis seakurat para materialis kita hari ini tahu bagaimana pemikiran timbul dari gerak atom-atom. Akan tetapi, penciptaan adalah hal paling kecil di antara semuanya; orang Yahudi memungut mitos-mitos yang dia dengar dalam perjalanannya, melucuti mereka sejauh mungkin dari segala sesuatu yang bersifat mitologis dan memangkas mereka menjadi peristiwa-peris­tiwa historis konkret. Tapi kemudian, dan baru kemudian, datang mahakaryanya dari material sedikit yang dimiliki oleh semua kaum Semit: orang Yahudi mengkonstruksi seluruh sejarah dunia di mana dia menjadikan dirinya pusatnya; dan sejak momen ini, yakni momen ketika Jehovah membuat perjanjian dengan Abraham, nasib Israel membentuk sejarah dunia, bahkan sejarah seluruh kosmos, hal yang dengannya sang Pencipta dunia menyibukkan diri. Seakan-akan lingka­ran selalu menjadi lebih sempit, akhirnya yang tersisa hanya titik sentral—“Ego”, kehendak telah menang. Itu memang bukan karya sehari; itu lahir secara bertahap; Yudaisme tulen, yakni Perjanjian Lama dalam bentuknya yang seka­rang, terbentuk dan tersusun hanya setelah kembalinya kaum Yahudi dari pembuangan Babilonia. Dan apa yang tadinya dijalankan dengan kejeniusan tak sadar, kini diterap­kan dan disempurnakan secara sadar: penyatuan masa lalu dan masa depan dengan masa kini secara sedemikian rupa sehingga setiap momen tersendiri membentuk sebuah pusat di jalan yang benar-benar lurus, yang bangsa Yahudi harus tempuh dan yang darinya mereka tidak bisa menyimpang ke kanan atau ke kiri sejak saat itu. Di masa lalu ada mukjizat-mukjizat ilahi yang mendukung kaum Yahudi, di masa depan ada penantian Mesias dan kekaisaran dunia: keduanya adalah elemen saling melengkapi dari pandangan sejarah ini. Momen yang berlalu mendapatkan nilai penting yang luar biasa hidup dari fakta bahwa itu dipandang tumbuh dari masa lalu, sebagai ganjaran atau hukuman, dan bahwa itu diyakini telah diramalkan secara tepat dalam nubuat-nubuat. Dengan ini, masa depan sendiri mendapatkan realitas yang tak ada contohnya: itu nampak sebagai sesuatu yang dapat diraba. Bahkan seandainya bejibun janji dan nubuat tidak menjadi kenyataan, itu bisa selalu dijelaskan dengan mudah. Kehendak tidak melihat terlalu dekat, tapi apa yang digenggamnya tidak dilepas, sekalipun itu cuma ilusi; semakin sedikit yang diberikan oleh masa lalu, semakin kaya masa depan kelihatannya; dan saking banyaknya yang dikuasai dalam hitam dan putih (khususnya dalam legenda Keluaran), sampai-sampai keraguan tidak mungkin timbul. Apa yang dinamakan “kesetiaan literal Yahudi kepada Agama” tentu saja cukup berbeda dari keyakinan dogmatis umat Kristiani; itu bukan keyakinan kepada misteri-misteri abstrak tak terbayangkan dan kepada semua jenis konsepsi mitologis, tapi sesuatu yang agak konkret dan historis. Hubungan kaum Yahudi dengan Tuhan mereka sejak awal bersifat politis. Jehovah menjanjikan mereka kekaisaran dunia—di bawah syarat-syarat tertentu; dan kerja historis mereka merupakan keajaiban struktur ulung sedemikian rupa sehingga kaum Yahudi melihat masa lalu mereka dalam warna-warna paling menyala-nyala, dan di mana-mana me­lihat tangan perlindungan Tuhan terbentang di atas bangsa pilihan-Nya, “di atas satu-satunya manusia dalam pengertian kata ‘manusia’ yang sebenarnya”; dan ini terlepas dari fakta bahwa nasib mereka adalah nasib paling malang dan memilukan sebagai sebuah kaum yang bisa ditunjukkan oleh tarikh dunia; sebab hanya satu kali di bawah Daud dan Sulaiman mereka menikmati setengah abad relatif makmur dan kondisi mapan; dengan cara itu mereka mendapatkan dari segala arah bukti-bukti kebenaran akidah mereka, dan dari situ mereka mengambil jaminan bahwa apa yang dijanjikan kepada Abraham berabad-abad sebelumnya akan terjadi secara penuh suatu hari nanti. Tapi janji ilahi itu, seperti kukatakan, bergantung pada syarat-syarat. Manusia tidak bergerak di rumah, tidak bisa makan dan minum dan berjalan di ladang, tanpa memikirkan ratusan perintah, di mana nasib bangsa bergantung pada pelaksanaannya. Seba­gaimana sang penulis Mazmur bernyanyi tentang orang Yahudi (Mazmur i. 2):
Dia bersukacita dengan hukum TUHAN, dan merenungkan hukum-Nya siang dan malam.
Setiap beberapa tahun masing-masing kita memasukkan kertas suara ke dalam kotak suara; kalau tidak, kita tidak tahu atau hampir tidak tahu bahwa kehidupan kita memiliki nilai kebangsaan; tapi orang Yahudi tak pernah lupa bahwa Tuhannya telah berjanji kepadanya, “Tidak akan ada bangsa yang sanggup melawan kalian, dan kalian akan membinasa­kan mereka semua,” tapi segera menambahkan, “Segala perintah yang aku perintahkan kepadamu pada hari ini harus­lah kamu pelihara!” Dengan demikian Tuhan senantiasa hadir bagi kesadaran. Hampir setiap hal, kecuali pemilikan materi, dilarang bagi orang Yahudi; oleh karenanya pikiran­nya tertuju pada harta saja, dan kepada Tuhan-lah dia harus berpaling untuk pemilikan harta itu. Orang yang belum pernah memahami kondisi-kondisi yang diuraikan ringkas dan tergesa-gesa di sini akan kesulitan dalam menyadari kegamblangan tak terduga seperti apa yang didapatkan oleh konsepsi Tuhan di bawah kondisi-kondisi ini. Orang Yahudi memang tidak bisa menggambarkan Jehovah melalui patung/gambar; tapi kerja-Nya, intervensi harian-Nya dalam takdir dunia adalah, boleh dibilang, perkara pengalaman; segenap bangsa ini bahkan hidup dari itu; merenunginya merupakan kesibukan intelektual mereka (jika tidak dalam Diaspora, setidaknya di Palestina). Di lingkungan-lingkungan inilah Yesus tumbuh besar; Dia tak pernah melangkah ke luarnya. Berkat kesadaran historis khas kaum Yahudi ini Dia bangun sejauh mungkin dari kultus alam ala Arya yang luas dan kaulnya “Tat Tvam Asi” (“Itu Adalah Kau Juga), dalam fokus antropomorfisme riil, di mana semua ciptaan hanyalah untuk manusia, dan semua manusia hanyalah untuk satu bangsa terpilih ini; dengan kata lain Dia bangun di hadapan Tuhan dan Providensi Ilahi. Di sini Dia menemukan apa yang tak bakal Dia temukan di tempat lain di dunia: sebuah perancah lengkap yang siap untuk-Nya, yang di dalamnya konsepsi baru-Nya akan Tuhan dan agama bisa dibangun. Setelah Yesus hidup, tak ada yang tersisa dari ide tulen Yahudi; kini setelah kuil dibangun, perancah bisa dicopot. Tapi itu sudah melaksanakan fungsi­nya, dan bangunan bakal tidak mungkin tanpanya. Tuhan yang kepada-Nya kita berdoa supaya memberi kita roti harian hanya bisa terpikirkan di tempat di mana Tuhan telah men­janjikan hal-hal dunia ini kepada manusia; manusia hanya bisa berdoa untuk pengampunan dosa-dosa kepada Dia yang telah menerbitkan perintah-perintah pasti—namun, aku hampir khawatir bahwa jika di sini aku memasuki detil-detil, aku bakal disalahpahami; cukuplah jika aku berhasil mem­berikan konsepsi umum akan atmosfer khas Yudea, sebab itu akan memungkinkan kita untuk melihat bahwa agama paling ideal ini tidak akan memiliki tenaga hidup yang sama seandainya itu tidak dibangun di atas agama paling riil dan paling materialistik—ya, sudah pasti paling materialistik—di dunia. Inilah dan bukan religiusitas tingginya yang telah menjadikan Yudaisme sebuah tenaga keagamaan yang pen­ting di seluruh dunia. Perkara ini menjadi lebih jelas lagi kapanpun kita mem­pertimbangkan pengaruh keyakinan historis ini terhadap nasib Kristus. Personalitas paling kuat bisa berpengaruh hanya ketika itu dipahami. Pemahaman ini mungkin sangat tak lengkap, itu bahkan seringkali berupa penyalahpahaman langsung, tapi suatu komunitas perasaan dan pemikiran harus mem­bentuk tautan koneksi antara jenius yang sendirian dan massa. Ribuan orang yang menyimak Khotbah di Bukit pasti tidak memahami Kristus; bagaimana mungkin paham? Mereka adalah orang-orang miskin, diinjak dan ditindas oleh perang dan perselisihan berketerusan, dilumpuhkan secara sistematis oleh pendeta-pendeta mereka; tapi kekuatan perkataannya membangunkan di dalam hati orang-orang yang lebih berkata di antara mereka sebuah gema yang mustahil untuk dibangunkan di bagian lain dunia: apakah ini sang Mesias, penebus yang dijanjikan dari kesengsaraan dan kepedihan mereka? Betapa tak terkira kekuatan yang terda­pat dalam kemungkinan konsepsi demikian! Seketika masa kini bersahaja dan fana tertaut dengan masa lalu paling jauh dan masa depan paling pasti, dan dengan begitu masa kini mendapatkan nilai penting abadi. Tak masalah jika Mesias, yang kaum Yahudi nantikan, tidak memiliki karakter yang kita, orang Indo-Eropa, sematkan pada konsepsi ini; idenya ada, kepercayaan yang didirikan di atas sejarah bahwa pada suatu saat seorang juru selamat mungkin dan harus muncul dari Langit. Tak ada di bagian bumi yang lain, seseorang bakal memiliki konsepsi ini, sarat dengan kesalahpahaman, konsepsi akan pentingnya Kristus di seluruh dunia. Sang Juru Selamat akan tetap seorang manusia di antara manusia. Sehingga aku berpikir bahwa ribuan orang yang tak lama kemudian berteriak “Salib dia, salib dia” memperlihatkan pemahaman yang sama bagusnya dengan orang-orang yang sebelumnya menyimak Khotbah di Bukit dengan saleh. Pilatus, yang di waktu-waktu lain adalah hakim yang keras dan kejam, tak menemukan kesalahan pada Kristus; di Hel­las dan di Roma dia akan sudah dihormati sebagai manusia kudus. Tapi orang-orang Yahudi hidup hanya dalam sejarah; bagi mereka ide “pagan” moralitas dan kekudusan adalah aneh, sebab mereka hanya mengenal “hukum”, dan terlebih menaati hukum ini untuk alasan-alasan praktis, yakni untuk menangguhkan murka Tuhan dan untuk memastikan masa depan mereka, sehingga mereka menilai sebuah fenomena semisal pengungkapan Kristus dari sudutpandang historis murni, dan sudah sepantasnya menjadi geram ketika kera­jaan yang dijanjikan, yang untuk memenangkannya mereka telah menderita dan bersabar selama berabad-abad—yang demi memilikinya mereka telah memisahkan diri dari semua bangsa lain di muka bumi, dan menjadi dibenci dan dipan­dang hina oleh semua bangsa—ketika kerajaan ini, yang di dalamnya mereka berharap melihat semua bangsa dibe­lenggu dan semua pangeran berlutut “menjilat tanah”, tiba-tiba ditransformasi dari sebuah kerajaan duniawi menjadi kerajaan “bukan dari dunia ini”. Jehovah sudah sering berjanji kepada kaum-Nya bahwa Dia “tidak akan mengkhianati” mereka; tapi bagi kaum Yahudi ini pasti terlihat sebagai peng­khianatan. Mereka mengeksekusi bukan hanya satu, tapi banyak, karena orang-orang tersebut dianggap sebagai, atau mengaku sebagai, Mesias yang dijanjikan. Dan itu sudah se­pantasnya, sebab kepercayaan terhadap masa depan merupa­kan pilar dari ide populer itu sebagaimana kepercayaan terhadap masa lalu. Dan kini, puncaknya, adalah heterodoksi Galilea ini! Menanamkan bendera idealisme di pusat suci kuno ini, pusat materialisme paling keras kepala! Mentrans­formasi, seperti sihir, Tuhan pembalasan dendam dan peperangan menjadi Tuhan kasih dan damai! Mengajarkan kehendak keras, yang mengulurkan kedua tangan terlepas dari semua emas dunia, bahwa itu mesti membuang semua yang dimilikinya dan mencari harta terpendam di dalam hatinya sendiri!... [Dewan] Sanhedrin Yahudi melihat lebih jauh daripada Pilatus (dan daripada ribuan teolog Kristen). Memang bukan dengan kesadaran penuh, tapi dengan insting tak pernah salah itu, yang dihasilkan oleh ras murni; mereka menangkap-Nya yang meruntuhkan landasan histo­ris kehidupan Yahudi, dengan mengajarkan “Jangan khawatir tentang hari esok”, yang dalam setiap perkataan dan perbuat­an-Nya mentransformasi Yudaisme menjadi antitesisnya, dan tidak melepaskan-Nya sampai Dia menghembuskan nafas terakhir-Nya. Sehingga hanya dengan kematianlah takdir tergenapkan dan teladan diberikan. Tak ada akidah baru yang bisa ditegakkan oleh doktrin-doktrin; pada waktu itu tidak terdapat kekurangan guru-guru etika yang mulia dan bijak, tapi tak seorangpun memiliki kekuasaan apapun atas manusia; kehidupan harus dijalani dan kehidupan ini harus segera mendapat tempatnya dalam sejarah dunia yang agung dan abadi sebagai sebuah fakta momen universal. Hanya lingkungan Yahudi yang cocok dengan kondisi-kondisi ini. Dan sebagaimana kehidupan Kristus hanya bisa dijalani de­ngan pertolongan Yudaisme, kendati itu merupakan negasi­nya, begitu pula Gereja Kristen muda mengembangkan serangkaian konsepsi Arya kuno—konsepsi dosa, penebusan, kelahiran kembali, rahmat, dll (hal-hal yang hingga saat itu dan sesudahnya agak tak dikenal oleh kaum Yahudi)—dan memberinya bentuk jelas dan kasat mata, dengan memasuk­kannya ke dalam skema historis Yahudi. Tak seorangpun akan berhasil membebaskan pengungkapan Kristus dari dasar Yahudi; itu dicoba pada abad-abad pertama era Masehi, tapi tak berhasil, sebab seribu ciri yang di dalamnya personalitas [Kristus] mengungkapkan individualitasnya menjadi terkaburkan, dan tidak ada yang tersisa selain abstraksi.
Judul asli : Historical Religion, Will in the Semitic Race<i=12_Q8sJ5_lYEXpTuqvjPnJ7Lh6uvy_kLn 411KB>Historical Religion, Will in the Semitic Race
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Desember 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Sejarah dan Kehendak dalam Agama: Tinjauan Terhadap Keagamaan Semit, Kristus, Arya

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)