Skip to content
Apakah Umar bin Khattab Menghancurkan Perpustakaan Alexandria? – Relift Media

Apakah Umar bin Khattab Menghancurkan Perpustakaan Alexandria? Bacaan non-fiksi sejarah

author _R. Vasudeva Rau_; date _1894_ genre _Sejarah_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Bukan saja tidak ada penyebutan Perpustakaan Alexandria sedikitpun, atau bahkan perpustakaan apapun di Mesir, tapi juga tuduhan umum itu didahului dengan frasa pengantar ‘konon’, yang menghilangkan semua tanggungjawab dari si penulis. Bagi orang-orang yang tak kenal dengan kehidupan internal kaum Muslim, dengan semangat sejati ajar­an-ajaran sang Nabi terakhir di muka bumi, dengan situasi di mana dan keadaan masyarakat di mana Muhammad hidup dan bersusah-payah untuk meregenerasi saudara-saudara­nya sesama makhluk, dan dengan signifikansi esoterik aturan-aturan Kitab Suci bagi hampir seperlima ras manusia, yang di dalam hatinya masih hidup api gairah agama dan keimanan, dan yang setiap tindakan dan perkataannya bisa ditelusuri ke situ, tidak ada kekejaman yang terlalu mustahil untuk disandangkan kepada kaum Muslim. Selama sebagian besar sejarah Eropa sejak Pasukan Salib, ketika keturunan ras Arya dan ras Semit berhadap-hadapan dalam pertikaian mematikan, terlepas dari kualitas-kualitas khas (kekuatan tujuan, kemuliaan jiwa, keberanian, kebencian terhadap ba­haya pribadi) yang diperagakan oleh Salahuddin sang Amirul Mukminin bahkan dalam panasnya perseteruan dan perseli­sihan agama, bangsa-bangsa Eropa gigih dalam melukiskan para pengikut Islam sebagai kaum barbar dan merusak, pe­numbang perdamaian dan ketertiban—singkatnya, sebagai monster-monster berwujud manusia. Kondisi pikiran publik memudahkan penerimaan cerita-cerita paling tak berdasar dan naratif-naratif fiktif, yang maksud tunggalnya tampak­nya adalah untuk memburuk-burukkan gambaran yang sudah suram tentang ras malang itu. Kesan negatif yang merata di Eropa terhadap kaum Muslim malah mendapatkan warna dan tenaga dari laporan-laporan dibesar-besarkan dari Pasukan Salib, yang kebanya­kan pulang dari Tanah Suci dengan cerita-cerita penderitaan dan kekejaman paling liar. Adalah fakta masyhur bahwa se­demikian hebat keranjingan akal manusia dalam menerima kabar-kabar hal ajaib, dan sedemikian hebat minat terhadap riset-riset yang mendeskripsikan suatu peristiwa jauh atau luar biasa, sampai-sampai penilaian si pelancong menerima sebuah bias, yang menyebabkannya fokus pada titik ekstrim itu dalam opininya, yang dikalkulasi untuk menghasilkan kejutan dan perhatian sebesar-besarnya. Karakteristik akal manusia ini tak diragukan lagi menyediakan solusi tangkas. Tapi argumen lebih penting, belum lagi lebih kuat, adalah bahwa para peziarah yang membawa ke rumah-rumah ter­pencil mereka dongeng-dongeng luar biasa tentang pende­ritaan ini, dan kesan sepihak mereka tentang kebiasaan dan tatakrama sebuah kaum asing, sebagian besar digerakkan oleh motif-motif kebencian keagamaan, intoleransi keagama­an, dan takhayul keagamaan. Para sejarawan Eropa di masa itu menyebarkan laporan-laporan mengambang tersebut dalam karya-karya mereka, dan dengan demikian tanpa sadar mencapnya dengan segel kenarasumberan mereka. Para penulis itu sendiri adalah Kristiani bersemangat, dan merasa perih—dengan alasan-alasan memadai yang tak usah kita bahas—karena perasaan luka pribadi di tangan “orang-orang kafir” yang mengikuti “Nabi Palsu”! Tidak heran mereka berpihak pada opini vulgar, dan dengan nyaring mengumumkan kekurangan-kekurangan khayali—bahkan kebarbaran-kebarbaran—para gerombolan Saracen “bersorban”. Ilmu sejarah belum dibudidayakan da­lam semangat kritis. Kejeniusan seorang Gibbon atau Buckle belum menyingsing. Kritik kalem dan tak berpihak sama sekali tak dikenal. Akibatnya, saat ini kita mendapati bahwa setumpuk tuduhan palsu dikaitkan sekaligus pada bangsa Muslim, yang sedikitpun tak memikul tanggungjawab atas tuduhan-tuduhan itu. Subjek esai sekarang termasuk ke dalam golongan ini. Kita akan, dalam halaman-halaman ke depan, mendiskusi­kan persoalan tersebut secara lengkap dengan maksud men­caritahu kesalahan apa, jika ada, yang melekat pada kaum Muslim atas penghancuran Perpustakaan Royal Alexandria. Dalam mendiskusikan dan mencapai sebuah kesimpulan definitif mengenai subjek ini, kita perlu meminta bantuan pada tulisan para sejarawan Timur di samping Barat—para sejarawan yang menyebutkannya dalam karya-karya mereka—yang diakui sebagai bernilai sama sekali. Sehubungan dengan ini, dan dalam menyematkan nilai masing-masing pada karangan-karangan Barat dibandingkan dengan Timur dan sebaliknya, kita akan perlu mempremiskan beberapa komentar pendahuluan. Diakui oleh para pengkritik tercerahkan di abad 19 ini bahwa kaum paling primitif sekalipun berhak dihormati da­lam tarikh negeri mereka sendiri, asalkan tentu saja [tarikh] itu tidak bertentangan dengan probabilitas. Ketika tulisan-tulisan sebuah bangsa Timur bertepatan dengan tulisan-tulisan para pengarang Eropa, sejarah diperkuat; ketika ke­dua tulisan bungkam, kebungkaman itu tentu saja membawa kepada pemeriksaan dan kehati-hatian. Tapi ketika tulisan-tulisan itu saling bertentangan, timbul pertanyaan: siapa yang akan kita percaya. Apakah kita akan percaya para pribumi, yang mungkin punya akses ke rekaman asli, atau musuh-musuh ras dan agama mereka, yang barangkali tak pernah bisa memiliki akses demikian? Pertanyaan ini tidak begitu sulit diputuskan ketika orang Arab bangsa-bangsa Timur dan para rahib penulis Kristen Eropa mewakili pihak-pihak. Ketika kita ingat betapa sedikit para penulis dengan jujur merekam fakta-fakta bahkan ten­tang pengalaman dan pengamatan mereka sendiri; ketika kita camkan bakat khas umat manusia yang menyebabkan para penulis merekam peristiwa-peristiwa yang berlalu me­ngenai negeri mereka, ide-ide mereka, atau pihak mereka, dengan cara yang berguna untuk reputasi terbaik mereka; ketika kita camkan keniscayaan, yang telah ditemukan oleh bahkan pemikir-pemikir paling tercerahkan dan tak berat sebelah yang pernah dunia saksikan, untuk berenang dengan gelombang prasangka populer; ketika kita sering melihat bahwa bukti rasional dan kenyataan apa adanya dikorbankan demi kemegahdirian, fiksi, pelebih-lebihan, atau dukungan sebuah teori tersendiri; pendek kata, ketika kita pertimbang­kan keadaan-keadaan tersebut, harus diakui secara blak-blakan bahwa kita mesti berhenti sejenak sebelum menaruh kepercayaan implisit kepada golongan sejarawan tertentu dengan mengecualikan golongan lain. Di zaman gelap setiap komunitas, bahan-bahan yang tersedia untuk sejarawan betul-betul sedikit, dan kedudukan fakta tidak jarang diisi oleh ide-ide yang berkembang dari imajinasi kuat dan subur. Semasa periode yang kita bahas di sini, cahaya keyakinan spiritual, diiringi dengan kebangkitan sastra, menyingsing di Arabia, sementara Eropa masih tidur dalam malam intelek­tual panjang Zaman Kegelapan. Selama 3 abad pertama sesudah kenaikan Islam, semua sejarawan Arab mematuhi kaidah mengutip narasumber yang mereka sandari dalam menyebutkan fakta apapun; dan dalam kasus-kasus di mana mereka mendapatkan informasi dari tangan kedua atau ketiga, dst, mereka biasa menyebutkan nama-nama semua narasumber perantara. Kaidah mereka yang lain adalah me­nolak narasumber apapun yang tulisannya telah dibuktikan tidak benar bahkan dalam satu contoh sekalipun. Alhasil, sejarah yang ditulis oleh kaum Muslim di masa awal mereka sangat terpercaya. Dengan rasa hormat sebesar-besarnya kepada rahib seja­rawan Zaman Kegelapan Eropa, tidak bisa diingkari bahwa mereka merangkai kumpulan keadaan tak praktis dan tak benar menjadi kesatuan sejarah yang bersambungan, me­nyerap sebagian besar imajinasi mereka sebagai fakta-fakta. Para sejarawan Zaman Pertengahan tergolong kepada orde pendeta. Menurut Buckle, sejarah, sebagaimana biasa ditu­lis oleh narasumber-narasumber tertinggi Eropa, sebelum penyempurnannya di abad 17 dan 18, “hanya sedikit lebih dari serangkaian kekeliruan paling kasar”. Sang pengarang terpe­lajar lantas menunjukkan “bahwa, selama beberapa abad, Eropa tidak memiliki satu orang pun yang mempelajari masa lalu secara kritis, atau yang bahkan mampu merekam peris­tiwa-peristiwa eranya sendiri dengan akurasi lumayan”. Menelusuri sejarah awal-mula literatur sejarah, Buckle (vol. i, hal 307) menguraikan bahwa:
Tak lama sebelum pembubaran akhir Kekaisaran Romawi, literatur Eropa jatuh ke tangan kaum pen­deta, yang, sebagai sebuah badan, selalu memandang sebagai tugas mereka untuk memaksakan kepercayaan ketimbang mendorong penyelidikan. Karenanya, se­lama berabad-abad, alih-alih memberi manfaat kepada masyarakat, literatur merugikan masyarakat, dengan meningkatkan kelekaspercayaan, dan dengan begitu menghentikan progres pengetahuan. Bahkan, bakat kebohongan menjadi begitu besar sampai-sampai tidak ada satu hal pun yang orang-orang tak mau percayai. Tidak ada satu hal pun yang salah menurut kuping mereka yang rakus dan lekas percaya. Sejarah pertan­da-pertanda, keajaiban-keajaiban, hantu-hantu, isya­rat-isyarat aneh, penampakan-penampakan dahsyat di langit, kerancuan-kerancuan paling liar dan tak karu­an, diulang dari mulut ke mulut, dan disalin dari buku ke buku, dengan sangat hati-hati seolah-olah mereka harta paling pilihan dari kebijaksanaan manusia.
Judul asli : Did Omar Destroy the Alexandrian Library?<i=1rL3bz5hOvXji-rBBDnSPDwUa5ZQQH-mB 372KB>Did Omar Destroy the Alexandrian Library?
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Oktober 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Apakah Umar bin Khattab Menghancurkan Perpustakaan Alexandria?

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)