Bukan saja tidak ada penyebutan Perpustakaan Alexandria sedikitpun, atau bahkan perpustakaan apapun di Mesir, tapi juga tuduhan umum itu didahului dengan frasa pengantar ‘konon’, yang menghilangkan semua tanggungjawab dari si penulis.
Bagi orang-orang yang tak kenal dengan kehidupan internal kaum Muslim, dengan semangat sejati ajaran-ajaran sang Nabi terakhir di muka bumi, dengan situasi di mana dan keadaan masyarakat di mana Muhammad hidup dan bersusah-payah untuk meregenerasi saudara-saudaranya sesama makhluk, dan dengan signifikansi esoterik aturan-aturan Kitab Suci bagi hampir seperlima ras manusia, yang di dalam hatinya masih hidup api gairah agama dan keimanan, dan yang setiap tindakan dan perkataannya bisa ditelusuri ke situ, tidak ada kekejaman yang terlalu mustahil untuk disandangkan kepada kaum Muslim. Selama sebagian besar sejarah Eropa sejak Pasukan Salib, ketika keturunan ras Arya dan ras Semit berhadap-hadapan dalam pertikaian mematikan, terlepas dari kualitas-kualitas khas (kekuatan tujuan, kemuliaan jiwa, keberanian, kebencian terhadap bahaya pribadi) yang diperagakan oleh Salahuddin sang Amirul Mukminin bahkan dalam panasnya perseteruan dan perselisihan agama, bangsa-bangsa Eropa gigih dalam melukiskan para pengikut Islam sebagai kaum barbar dan merusak, penumbang perdamaian dan ketertiban—singkatnya, sebagai monster-monster berwujud manusia. Kondisi pikiran publik memudahkan penerimaan cerita-cerita paling tak berdasar dan naratif-naratif fiktif, yang maksud tunggalnya tampaknya adalah untuk memburuk-burukkan gambaran yang sudah suram tentang ras malang itu.
Kesan negatif yang merata di Eropa terhadap kaum Muslim malah mendapatkan warna dan tenaga dari laporan-laporan dibesar-besarkan dari Pasukan Salib, yang kebanyakan pulang dari Tanah Suci dengan cerita-cerita penderitaan dan kekejaman paling liar. Adalah fakta masyhur bahwa sedemikian hebat keranjingan akal manusia dalam menerima kabar-kabar hal ajaib, dan sedemikian hebat minat terhadap riset-riset yang mendeskripsikan suatu peristiwa jauh atau luar biasa, sampai-sampai penilaian si pelancong menerima sebuah bias, yang menyebabkannya fokus pada titik ekstrim itu dalam opininya, yang dikalkulasi untuk menghasilkan kejutan dan perhatian sebesar-besarnya. Karakteristik akal manusia ini tak diragukan lagi menyediakan solusi tangkas. Tapi argumen lebih penting, belum lagi lebih kuat, adalah bahwa para peziarah yang membawa ke rumah-rumah terpencil mereka dongeng-dongeng luar biasa tentang penderitaan ini, dan kesan sepihak mereka tentang kebiasaan dan tatakrama sebuah kaum asing, sebagian besar digerakkan oleh motif-motif kebencian keagamaan, intoleransi keagamaan, dan takhayul keagamaan.
Para sejarawan Eropa di masa itu menyebarkan laporan-laporan mengambang tersebut dalam karya-karya mereka, dan dengan demikian tanpa sadar mencapnya dengan segel kenarasumberan mereka. Para penulis itu sendiri adalah Kristiani bersemangat, dan merasa perih—dengan alasan-alasan memadai yang tak usah kita bahas—karena perasaan luka pribadi di tangan “orang-orang kafir” yang mengikuti “Nabi Palsu”! Tidak heran mereka berpihak pada opini vulgar, dan dengan nyaring mengumumkan kekurangan-kekurangan khayali—bahkan kebarbaran-kebarbaran—para gerombolan Saracen “bersorban”. Ilmu sejarah belum dibudidayakan dalam semangat kritis. Kejeniusan seorang Gibbon atau Buckle belum menyingsing. Kritik kalem dan tak berpihak sama sekali tak dikenal. Akibatnya, saat ini kita mendapati bahwa setumpuk tuduhan palsu dikaitkan sekaligus pada bangsa Muslim, yang sedikitpun tak memikul tanggungjawab atas tuduhan-tuduhan itu.
Subjek esai sekarang termasuk ke dalam golongan ini. Kita akan, dalam halaman-halaman ke depan, mendiskusikan persoalan tersebut secara lengkap dengan maksud mencaritahu kesalahan apa, jika ada, yang melekat pada kaum Muslim atas penghancuran Perpustakaan Royal Alexandria.
Dalam mendiskusikan dan mencapai sebuah kesimpulan definitif mengenai subjek ini, kita perlu meminta bantuan pada tulisan para sejarawan Timur di samping Barat—para sejarawan yang menyebutkannya dalam karya-karya mereka—yang diakui sebagai bernilai sama sekali. Sehubungan dengan ini, dan dalam menyematkan nilai masing-masing pada karangan-karangan Barat dibandingkan dengan Timur dan sebaliknya, kita akan perlu mempremiskan beberapa komentar pendahuluan.
Diakui oleh para pengkritik tercerahkan di abad 19 ini bahwa kaum paling primitif sekalipun berhak dihormati dalam tarikh negeri mereka sendiri, asalkan tentu saja [tarikh] itu tidak bertentangan dengan probabilitas. Ketika tulisan-tulisan sebuah bangsa Timur bertepatan dengan tulisan-tulisan para pengarang Eropa, sejarah diperkuat; ketika kedua tulisan bungkam, kebungkaman itu tentu saja membawa kepada pemeriksaan dan kehati-hatian. Tapi ketika tulisan-tulisan itu saling bertentangan, timbul pertanyaan: siapa yang akan kita percaya. Apakah kita akan percaya para pribumi, yang mungkin punya akses ke rekaman asli, atau musuh-musuh ras dan agama mereka, yang barangkali tak pernah bisa memiliki akses demikian?
Pertanyaan ini tidak begitu sulit diputuskan ketika orang Arab bangsa-bangsa Timur dan para rahib penulis Kristen Eropa mewakili pihak-pihak. Ketika kita ingat betapa sedikit para penulis dengan jujur merekam fakta-fakta bahkan tentang pengalaman dan pengamatan mereka sendiri; ketika kita camkan bakat khas umat manusia yang menyebabkan para penulis merekam peristiwa-peristiwa yang berlalu mengenai negeri mereka, ide-ide mereka, atau pihak mereka, dengan cara yang berguna untuk reputasi terbaik mereka; ketika kita camkan keniscayaan, yang telah ditemukan oleh bahkan pemikir-pemikir paling tercerahkan dan tak berat sebelah yang pernah dunia saksikan, untuk berenang dengan gelombang prasangka populer; ketika kita sering melihat bahwa bukti rasional dan kenyataan apa adanya dikorbankan demi kemegahdirian, fiksi, pelebih-lebihan, atau dukungan sebuah teori tersendiri; pendek kata, ketika kita pertimbangkan keadaan-keadaan tersebut, harus diakui secara blak-blakan bahwa kita mesti berhenti sejenak sebelum menaruh kepercayaan implisit kepada golongan sejarawan tertentu dengan mengecualikan golongan lain. Di zaman gelap setiap komunitas, bahan-bahan yang tersedia untuk sejarawan betul-betul sedikit, dan kedudukan fakta tidak jarang diisi oleh ide-ide yang berkembang dari imajinasi kuat dan subur.
Semasa periode yang kita bahas di sini, cahaya keyakinan spiritual, diiringi dengan kebangkitan sastra, menyingsing di Arabia, sementara Eropa masih tidur dalam malam intelektual panjang Zaman Kegelapan. Selama 3 abad pertama sesudah kenaikan Islam, semua sejarawan Arab mematuhi kaidah mengutip narasumber yang mereka sandari dalam menyebutkan fakta apapun; dan dalam kasus-kasus di mana mereka mendapatkan informasi dari tangan kedua atau ketiga, dst, mereka biasa menyebutkan nama-nama semua narasumber perantara. Kaidah mereka yang lain adalah menolak narasumber apapun yang tulisannya telah dibuktikan tidak benar bahkan dalam satu contoh sekalipun. Alhasil, sejarah yang ditulis oleh kaum Muslim di masa awal mereka sangat terpercaya.
Dengan rasa hormat sebesar-besarnya kepada rahib sejarawan Zaman Kegelapan Eropa, tidak bisa diingkari bahwa mereka merangkai kumpulan keadaan tak praktis dan tak benar menjadi kesatuan sejarah yang bersambungan, menyerap sebagian besar imajinasi mereka sebagai fakta-fakta. Para sejarawan Zaman Pertengahan tergolong kepada orde pendeta. Menurut Buckle, sejarah, sebagaimana biasa ditulis oleh narasumber-narasumber tertinggi Eropa, sebelum penyempurnannya di abad 17 dan 18, “hanya sedikit lebih dari serangkaian kekeliruan paling kasar”. Sang pengarang terpelajar lantas menunjukkan “bahwa, selama beberapa abad, Eropa tidak memiliki satu orang pun yang mempelajari masa lalu secara kritis, atau yang bahkan mampu merekam peristiwa-peristiwa eranya sendiri dengan akurasi lumayan”.
Menelusuri sejarah awal-mula literatur sejarah, Buckle (vol. i, hal 307) menguraikan bahwa:
Tak lama sebelum pembubaran akhir Kekaisaran Romawi, literatur Eropa jatuh ke tangan kaum pendeta, yang, sebagai sebuah badan, selalu memandang sebagai tugas mereka untuk memaksakan kepercayaan ketimbang mendorong penyelidikan. Karenanya, selama berabad-abad, alih-alih memberi manfaat kepada masyarakat, literatur merugikan masyarakat, dengan meningkatkan kelekaspercayaan, dan dengan begitu menghentikan progres pengetahuan. Bahkan, bakat kebohongan menjadi begitu besar sampai-sampai tidak ada satu hal pun yang orang-orang tak mau percayai. Tidak ada satu hal pun yang salah menurut kuping mereka yang rakus dan lekas percaya. Sejarah pertanda-pertanda, keajaiban-keajaiban, hantu-hantu, isyarat-isyarat aneh, penampakan-penampakan dahsyat di langit, kerancuan-kerancuan paling liar dan tak karuan, diulang dari mulut ke mulut, dan disalin dari buku ke buku, dengan sangat hati-hati seolah-olah mereka harta paling pilihan dari kebijaksanaan manusia.