Dalam ide-ide mereka akan Tuhan, dan hubungan mereka dengan-Nya, terlepas dari pandangan mereka terhadap Yesus dari Nazaret, terdapat kemiripan hampir persis. Nyatanya, tidak ada banyak perbedaan antara banyak orang Yahudi reformasi dan beberapa orang Unitarian dalam perkara akidah.
Ciri-ciri dan kekhasan etnis diakui sebagai bukti pertalian rasial. Mereka ini kadang hadir dalam fisiognomi—lebih sering dalam tatakrama, kebiasaan, kepercayaan, dan tren rasial umum. Pada orang Yahudi, wajahnya sering menentukan. Ketidakmiripan dengan kaum ini dalam hal tampilan muka dikutip sebagai bukti bahwa bangsa Saxon bukan ras sekerabat. Tapi mengapa mesti ada kemiripan persis? Bani Israel Sepuluh Suku yang Hilang bukanlah orang Yahudi. Menganggapnya demikian merupakan salah satu kekeliruan masa kita. Ada banyak pembaca rajin Alkitab yang gagal total membedakan antara kedua keluarga, atau bangsa, yang ke dalamnya bangsa Ibrani dibagi—“Wangsa Israel” dan “Wangsa Yudah”. Salah seorang pemberi kuliah paling ternama dan populer perihal Nabi-nabi Israel ditanya apakah Yeremia menggunakan kata “Israel” dan “Yudah” sebagai sinonim, dan dia tak bisa menjawab. Dia “belum memperhatikan”. Dia tampak kaget saat diberitahu bahwa nabi ini menggunakan kata “Yudah” 180 kali dan “Israel” 90 kali, tapi tak pernah sekalipun sebagai sinonim. Seorang lain, profesor di sebuah Seminari Teologis, menyatakan “tak percaya pada teori Anglo-Israel sebab itu bakal mengesankan kita semua orang Yahudi”. Seorang lain, penstudi Alkitab tekun dan penulis subur literatur sekolah Minggu, bertanya kepada penulis bagaimana membedakan antara bani Israel dan kaum Yahudi, dengan asumsi mereka sinonim.
Kaum Yahudi mendapatkan nama mereka dari suku dan Wangsa mereka sendiri. Bangsa Anglo-Saxon adalah keturunan dari “Wangsa Israel”, yang terdiri dari sepuluh suku. “Wangsa Israel”, “Wangsa Yakub”, “Wangsa Ishak”, “Wangsa Efraim”, “Wangsa Yusuf”, digunakan secara sinonim. Tapi “Wangsa Yudah” menandai satu bangsa Ibrani lain yang terpisah. Baru di periode terakhir sejarah perjanjian Lama, jauh setelah menghilangnya kesepuluh suku dari Tanah Suci, Yudah digunakan sebagai sinonim dengan Israel. Bahkan di zaman Perjanjian Baru, hanya dalam percakapan sehari-harilah orang-orang bani Israel selain daripada mereka yang lahir dari bangsa Yahudi disebut orang Yahudi. Semua orang bani Israel bukanlah orang Yahudi seperti halnya semua orang Britania adalah orang Wales.
Tom Paine jatuh ke dalam kesalahan umum ini, yaitu tertukar antara Israel dan Yudah, dan menyatakan bahwa dirinya menjadi kafir karena melihat orang-orang Yahudi tak pernah bisa memverifikasi janji-janji yang diberikan kepada Israel.
Pengamat lebih tajam, William E. Gladstone, dalam “Impregnable Rock of Holy Scripture”-nya, menulis: “Nah, nama Israel adalah nama yang dengannya umat terpilih itu dideskripsikan dalam Mazmur. Kita mendapati nama ini diulang 26 kali. Nama Yudah tercantum 10 kali, dan tak pernah dengan signifikansi maha penting ini. Itu disebutkan entah bersama-sama dengan Israel, atau bersama dengan suku-suku lain, misalnya dengan Efraim dan Manasye, atau dengan Sion, tapi selalu secara lokal atau sukuis.”
Banyak ketertukaran akan sudah tercegah jika semua pembaca Kitab Suci mengamati demikian. Jehovah senantiasa disebut “Tuhan Israel”, tapi tak sekalipun Dia disebut Tuhan Yudah.
“Israel” adalah nama yang dipergunakan untuk menandai umat terpilih, yang terdiri dari 12 suku; tapi kedua belas suku ini dibagi ke dalam dua bangsa. Kristus mengenali ini ketika dia berkata kepada orang-orang Yahudi, “Kerajaan Allah akan diambil darimu dan akan diberikan kepada sebuah bangsa yang menghasilkan buah darinya.” Konsisten dengan semua janji dan prediksi Perjanjian Lama, yang dia maksud pasti sebuah “bangsa” Ibrani lain, dengan kata lain, bangsa bersuku sepuluh, “Wangsa Israel”.
Karena hal-hal ini demikian, mengapa keturunan sepuluh suku mesti disangka mirip dengan orang-orang Yahudi dalam hal fisiognomi? Selain itu, tidak pasti tampilan muka orang Yahudi selalu seperti sekarang. Ada alasan-alasan untuk percaya bahwa itu telah berubah sejak perpencaran mereka, bahwa itu adalah hasil, sebagian, dari kemerosotan sosial dan fisik yang mereka alami sesudah penghancuran Yerusalem, dan yang mereka terus lalui di banyak negeri sampai hari ini. Perubahan fisiognomi terjadi pada kedua suku, bukan pada kesepuluh suku yang darinya bangsa Anglo-Saxon berasal. Wajah terbuka, blak-blakan, berani, tak kenal takut, yang begitu mencolok pada ras kita, mungkin dulu dimiliki oleh bani Yudah juga. Raut malu, segan, takut, yang sering menandai mereka sekarang, bukan milik mereka awalnya. Di bawah tirani dan persekusi berabad-abad, mereka jadi gemetar oleh goyangan sehelai daun. Apakah tidak lazim jika ketakutan dan penderitaan batin tercermin di wajah? Orang-orang kulit hitam sekalipun menjadi pucat karena ketakutan berlebih. Baru belakangan ini—dan itu hanya di Kekaisaran Inggris dan AS—orang-orang Yahudi telah dimerdekakan sepenuhnya, dan diangkat dari kemerosotan rasial.
Ini tentu sebuah pertimbangan penting. Beberapa generasi di kalangan Anglo-Saxon mungkin akan meratakan kerut-kerut kerisauan, ketakutan, dan kesedihan dari dahi dan wajah Yudah yang diakibatkan oleh berabad-abad persekusi, dan mengembalikan kesimetrian dan keelokan masa mudanya kepada fisiognominya.
Judul asli | : | Anglo-Israel and the Jewish Problem. Chap. 3 & 4<i=1fekLc5QkcV3hqYBK190FQ4Lmh5UvJ5hF 248KB>Anglo-Israel and the Jewish Problem. Chap. 3 & 4 (1892) |
Pengarang | : | Thomas Rosling Howlett |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2024 |
Genre | : | Sejarah |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |