Itu adalah ekspresi sebuah kaum yang padanya semangat homogenitas mulai beroperasi, sebuah kaum yang dalam karakteristik fisik dan intelektualnya mulai dibedakan dari kaum dan bangsa lain; sebuah kaum yang telah mengalami pengaruh kondisi iklim negaranya sendiri.
Dari Abraham ke Sulaiman 1000 tahun; dari Sulaiman ke penghancuran Kuil yang kedua 1000 tahun; dari peristiwa tersebut sampai hari ini hampir 2000 tahun. Sejarah orang Yahudi yang terdenasionalisasi meliputi hampir dua kali periode kenaikan, pertumbuhan, kemerosotan, dan kejatuhan bangsanya. Itu sebuah pemikiran yang sarat arti, sebab pada umumnya tidak dipahami bahwa orang-orang terbaik Israel mengakui sebuah tempat lahir yang bukan Palestina. Negara kakek-moyang kita mengalami banyak kejayaan spiritual; ya, kita tak pernah bisa melupakan itu, sebab “dari Zion lahir hukum dan firman Tuhan dari Yerusalem”. Pengaruh spiritual rumah kuno kita tetap fundamental dalam pengembangan dan peluasan semangat Yahudi di manapun itu menampakkan diri dan di manapun itu menemukan kesempatan; sekali ini diakui dan dikenali, kita menjumpai bukti luar biasa akan plastisitas hebat orang Yahudi. Adalah kebanggaan kita bahwa orang Yahudi ini telah berkontribusi pada pembangunan setiap negara; lebih lanjut kita bisa mengakui bahwa setiap negara telah berkontribusi pada pembangunan orang Yahudi. Prosesnya timbal-balik; orang Yahudi yang dinasionalisasi di setiap tempat, yang menyerap elemen-elemen kebudayaan nasional, hanya orang Yahudi inilah yang bisa menjadi faktor dalam proses-proses yang mencakup pertumbuhan dan perkembangan nasional. Prinsip ketimbal-balikan ini merupakan salah satu bab paling menarik dalam sejarah Yahudi. Di zaman Biblikal itu sudah menampakkan diri. Semangat plastis Israel, yang tak terkekang oleh tanah manapun, menjadikan Babilonia tahap salah satu era literaturnya. Yehezkiel, Yesaya kedua, Ayub, dan sejumlah penulis Mazmur lain, memelihara kejeniusan klasik bahasa paternal di tanah asing, tak gentar oleh aspek-aspek pembuangan [Babilonia] yang dihadirkan oleh koloni-koloni bani Israel di Lembah Mesopotamia. Tapi, melewatkan bab awal ini, ada bab-bab belakangan yang membuktikan pengaruh hebat nasionalisme terhadap orang Yahudi dan kapasitasnya untuk mempertahankan kejeniusan rasnya yang dimodifikasi oleh lingkungannya. Kita punya waktu untuk satu atau dua ilustrasi saja. Kisah kaum Yahudi Alexandria mungkin salah satu ilustrasi paling menarik. Itu menghadirkan orang Yahudi yang ter-Hellenisasi seratus persen. Jika kita ingat bahwa kebudayaan Palestina mewakili abad-abad kebencian dan penentangan terhadap Hellenisme, bahwa sebetulnya pemberontakan Makabe adalah reaksi keras menuju kehidupan kebangsaan lebih murni dan agama yang tak terpengaruh pemikiran modern, kita dapat memperkirakan kontras kaku antara orang Yahudi Yerusalem dan orang Yahudi Alexandria. Tapi orang Yahudi Mesir ini, orang Yahudi Alexandria ini, yang jatuh ke bawah pengaruh kultus Hellenik, memiliki kisah masyhurnya sendiri—dan kita mengakuinya dengan bangga. Sebab Hellenis ini, Yunani-Yudea ini, menjadi medium komunikasi antara kejeniusan Israel dan dunia pagan, dan Heksameter-heksameter Yunani para Sibil, Teks-teks Emas Tujuh Puluh, simbolisme Filo-Yudaeus, dan sistem-sistem filsafat kaum Gnostik menjadi sumber inspirasi yang melaluinya akidah Kristen yang baru lahir jadi dapat dimengerti oleh Yunani maupun Romawi. Yudaisme Alexandria adalah induk Kristen Paulus, yang membawa ajaran-ajaran Mesianik gurunya ke batas-batas terjauh dunia, kendati di bawah aspek dan kondisi penafsiran yang belum pernah bisa disetujui oleh sang induk. Tapi kita harus terus maju dan bergerak cepat, sebab betapapun subjek ini dipenuhi detil-detil menarik, kita bisa menghadirkan garisbesar paling sederhana saja. Sebagaimana Yudaisme Alexandria bertahan melewati pembusukan bangsa Yahudi, begitu pula Yudaisme Palestina terlestarikan lama usai malapetaka serupa dengan mentransplantasikan mazhab-mazhabnya ke tempat kumpul lama Israel, tempat lahir leluhur jauhnya, dan kampung halaman beberapa penyairnya yang paling masyhur. Orang Yahudi memberanikan diri kembali ke Babilonia dan berpencar di lembah klasik, dari Tadmor di gurun sepanjang rute-rute tua, sampai dia menuntut sebuah tanah air di setiap tempat, dari Kaspia hingga Teluk Persia, tapi utamanya berkonsentrasi di lokalitas-lokalitas tua; Babilonia menjadi pusat sebuah kebudayaan Yahudi yang cakupan dan nilai pentingnya tetap mencengkeram orang Yahudi masa kini. Negara itu terkena berbagai agitasi politik; Partia dan Romawi, Persia dan Muslim, saling menggantikan, tapi orang Yahudi lagi-lagi menjadi pewaris seribu tahun kekaisaran, dan sementara mereka lenyap, dia tetap ada dan menulis bab sejarahnya. Kebangkitan perdagangan dan kebudayaan di bawah para suksesor Muhammad mendapatinya siap untuk pekerjaannya. Didomestikasi, dinaturalisasi, dan bahasanya selaras dengan bahasa-bahasa serumpun di Timur, dia menjadi pedagang berpengaruh, bankir, pengusaha pabrik, tapi terutama cendekiawan. Universitas-universitasnya muncul di lembah yang dibatasi oleh sungai-sungai dan kanal-kanal Babilonia, dan kuil-kuil lapuk Dewa Matahari memandang kagum pada sinagoge-sinagoge Israel. Talmud Babilonia, tafsir hukum paling monumental, bukti terbesar akan kompleksitas di samping ketajaman dan kehalusan akal Yahudi, aktivitas para penyusun belakangan dan Geonim, selain pencapaian politik para Pangeran Pengasingan, menggambarkan orang Yahudi Babilonia sebagai ternasionalisasi; dengan kata lain tunduk pada lingkungan-lingkungan yang di dalamnya kejeniusan Yahudi tetap bermain penuh. Dari Babilonia hingga Spanyol adalah bentangan panjang, tapi Spanyol adalah penerus Babilonia, dan di sana, di Spanyol, dia menulis satu babnya yang lain jika bukan yang paling jaya. Tinggal bersama kaum Moor di Andalusia, dan bersama Kristiani di Aragon dan Castile, orang Yahudi Spanyol barangkali merupakan contoh paling mencolok dari sebuah kaum yang didomestikasi, dinaturalisasi, dan karenanya dimungkinkan untuk berkontribusi pada pertumbuhan tanah airnya. Kita biasa memandang pencapaian spiritual dan sastra kaum Yahudi Spanyol sebagai kontribusi tertinggi mereka pada sejarah modern Israel; dan dengan setiap jaminan untuk memandang demikian, kita condong lupa bahwa orang Yahudi—lebih sebagai orang Spanyol ketimbang sebagai Yahudi—menyumbang bab yang sama terangnya pada sejarah Spanyol. Sebab, di samping keilmuannya yang super unggul, di samping kejeniusan puitisnya, yang dihidupkan oleh langit cerah semenanjung tersebut, lima abad masa tinggalnya di Spanyol menjadikannya tulang punggung industri-industrinya, penggerak potensi-potensinya. Pekebun anggur di Andalusia, bankir di Sevilla dan Toledo, negarawan di Granada, penduduk gunung di Guadelajara Range, kosmografer dan navigator di Palos dan Cadiz, profesor di universitas-universitas, negarawan dan politisi di istana para khalifah Muslim dan raja Kristen, dari masa invasi Tarik hingga petaka pembuangan tak layak menimpanya, demikianlah orang Yahudi Spanyol, ternasionalisasi lebih penuh di Spanyol dibanding para keturunan Romawi dan Goth di masanya. Tapi kejeniusan Israel ini (terstimulasi di dalam lingkungan setiap negara), yang menjadi faktor dalam setiap aspek peradaban, tampaknya betul-betul memiliki plastisitas luar biasa yang kita atributkan padanya, sebab itu bisa menghasilkan seorang Musa Mesir, seorang Samuel Kanaan, seorang Yesaya Babilonia; seorang Filo Mesir; seorang Samuel Babilonia; seorang Saadia Mesir, seorang Gabirol Spanyol, dan seorang Rashi Prancis, dan pada abad-abad belakangan seorang Spinoza Belanda, seorang Heine Jerman, seorang Disraeli Inggris, dan seorang Benjamin Amerika. Nama-nama ini, yang dilafalkan tanpa pikir panjang, adalah hampir-hampir perwakilan prinsip penting yang kita coba umumkan di sini, yaitu bahwa kelestarian bangsa Yahudi dihasilkan dari operasi ketimbal-balikan, dalam arti bahwa, sementara di satu sisi orang Yahudi di setiap tempat menyumbang kemampuan dan kejeniusannya untuk melayani masyarakat di mana dia tinggal, di sisi lain, sumbangsih tersebut dimungkinkan karena dia tunduk pada lingkungannya dalam kadar jauh lebih besar daripada yang kita percayai selama ini. Pengaruh lingkungan tersebutlah yang menasionalisasi orang Yahudi di setiap tempat, dan paling mencolok di AS.
Judul asli | : | The Influence of Americanism Upon the Jew<i=1m8L16E-FPE0LunVxtuPja87vZo9KPGvb 255KB>The Influence of Americanism Upon the Jew (1906) |
Pengarang | : | Jacob Voorsanger |
Penerbit | : | Relift Media, Januari 2024 |
Genre | : | Politik |
Kategori | : | Nonfiksi, Pidato |