Skip to content
Monoteisme: Kepercayaan Tanpa Mitologi, Mitos, Takhayul – Relift Media

Monoteisme: Kepercayaan Tanpa Mitologi, Mitos, Takhayul Bacaan non-fiksi religi

author _Ernest Renan_; date _1887_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Monoteisme mau tak mau bersifat euhemeris dalam penaksirannya terhadap agama-agama mitologis. Tak paham akan divinisasi primitif kekuatan-kekuatan alam, yang merupakan sumber semua mitologi, ia hanya punya satu cara untuk memaknai konstruksi-konstruksi besar kejeniusan kuno ini. Dengan tipe bahasa tertentunya sendiri, orang Semi­tik, seperti halnya orang Arya, tampaknya mula-mula memiliki tipe agama tertentu sebagai jatah bersama. Ide fun­damental agama ini adalah supremasi satu master bersama di langit dan bumi. Semua ini tetap sangat samar dan simpang-siur sampai abad 9 SM, tapi itu tetap berbenih sejak sangat awal dan terutama disebabkan oleh, seperti kubilang, karakter kehidupan nomaden yang mencetak tanda begitu dalam pada semua ras tanpa pandang bulu. Satu bukti tegas­nya adalah kurang sukanya para nomaden secara umum ter­hadap gambar-gambar dalam lukisan atau pahatan. Sebuah bangsa yang memiliki penyajian-penyajian bergambar ham­pir pasti menjadi musyrik. Pelarangannya oleh para legislator Ibrani boleh dibilang dikenakan kepada orang-orang noma­den oleh hukum dasar eksistensi mereka. Kehidupan noma­den memustahilkan perhiasan-perhiasan yang diperlukan untuk pemujaan musyrik; panteon harus sama portabelnya dengan douar, dan kebiasaan Badui membatasinya pada beberapa terafim remeh dan sebuah tabut portabel yang melingkupi objek-objek sakral. Yang jauh lebih sering absen pada orang Semit dibanding selera seni visual adalah mitologi, yang, sebagaimana seni lukis dan seni pahat, merupakan induk politeisme. Prinsip mitologi adalah menanamkan kehidupan ke dalam kata-kata; sedangkan bahasa-bahasa Semitik tidak cocok untuk perso­nifikasi seperti ini. Sebuah ciri pada kaum-kaum yang menu­turkan bahasa-bahasa Semitik adalah ketidaksuburan imaji­nasi maupun bahasa. Bagi orang Arya primitif, setiap kata sarat arti, jika aku boleh berkata begitu, dan mengandung mitos ampuh. Subjek frasa-frasa semisal “maut mematikan­nya”, “penyakit membawanya pergi”, “guntur menggemuruh”, “sedang hujan”, dll, di matanya adalah seorang makhluk yang dalam kenyataannya sedang melakukan perbuatan yang diekspresikan oleh kata kerja bersangkutan. Di mata orang Semit, sebaliknya, semua fakta yang sebabnya tidak diketa­hui memiliki satu sebab yang sama. Semua fenomena, terle­bih fenomena meteorologi, yang begitu menarik bagi kaum-kaum primitif, dinisbatkan pada entitas yang sama. Berke­naan dengan kehidupan, nafas yang sama menjiwai semua makhluk. Guntur adalah suara Tuhan; kilat adalah cahaya-Nya; awan badai adalah selubung-Nya; hujan es adalah misil-misil murka-Nya. Hujan, dalam semua mitologi primitif ras Indo-Eropa, dilambangkan sebagai buah dari penyatuan langit dan bumi. Dalam Kitab Ayub, yaitu ekspresi sebuah teologi yang sangat kuno, Tuhan-lah yang membuka jendela-jendela langit, yang “membagi-bagi anak-anak sungai untuk pelimpahan air”, dan “melahirkan tetes-tetes embun”. Au­rora, dalam mitologi-mitologi Arya, adalah objek banyak se­kali mitos, di mana ia diberi peran personal dan menyandang banyak nama berbeda. Ia adalah anak perempuan Malam; ia dinikahi oleh Matahari; ia melahirkan Tithonus, atau Siang; ia mencintai Kephalos (kepala besar, Matahari); ia memiliki rival yaitu Procris (Embun); ia lari dari kejaran Matahari, dan hancur oleh pelukannya. Dalam Kitab Ayub, sebaliknya, Tuhan memerintahkan pagi dan menutup bintang-bintang, dan menetapkan batas masing-masing untuk cahaya dan kegelapan. Dengan demikian, hampir semua akar bahasa-bahasa Arya mengandung embrio divinitas, sedangkan akar-akar Semitik kering, anorganik, dan agak tak mampu melahirkan mitologi. Ketika seseorang sepenuhnya menyadari kekuatan akar div, yang melambangkan kecerahan langit jernih, dia dapat dengan mudah memahami bagaimana dies, divum (sub dio), Deva, Zeus, Jupiter, Diespiter, Diauspiter berasal dari akar ini. Kata-kata Agni (ignis), Varouna (ουρανος), Ge atau De (Δημητηρ), juga mengandung benih individualitas-indivi­dualitas yang—semakin jauh terpisah dari arti naturalis pri­mitif mereka—lama-lama dan setelah selang waktu berabad-abad jadi tidak lebih tokoh-tokoh untung-untungan belaka. Percuma mencoba menderivasikan teologi setaraf itu dari kata-kata paling esensial dalam bahasa-bahasa Semitik, semisal or (“cahaya”), samâ (“langit”), ars (“bumi”), nâr (“api”). Tak satupun dari nama dewa-dewa Semitik terkait dengan kata-kata tersebut. Akar-akar dalam rumpun bahasa ini adalah, jika boleh kubilang, realistik dan non-transparan; mereka tidak cocok untuk metafisika atau mitologi. Kesulitan untuk menjelaskan dalam bahasa Ibrani gagasan-gagasan fil­safat paling sederhana di dalam Kitab Ayub dan Kitab Peng­khotbah adalah sesuatu yang agak mengherankan. Citraan fisik, yang dalam bahasa-bahasa Semitik masih nyaris dang­kal, mengaburkan deduksi abstrak dan menghalangi apapun semisal latar halus dalam omongan. Kemustahilan bahasa-bahasa Semitik untuk mengeks­presikan konsepsi mitologis dan epik kaum-kaum Arya tak kurang mencoloknya. Orang tidak menyadari akan seperti apa Homer atau Hesiod jika diterjemahkan ke dalam Ibrani. Pasalnya, di kalangan orang Semit, yang betul-betul mono­teistik bukanlah cuma ekspresi, tapi alur pikiran itu sendiri. Di bawah perlakuan Semit, mitologi-mitologi asing jadi ditransformasi ke dalam cerita-cerita historis tumpul. Euhe­merisme merupakan sistem penafsiran mereka satu-satu­nya, sebagaimana kita baca dalam karya-karya Berosus, Sanchoniathon, dan semua penulis lain yang meriwayatkan detil-detil mengenai mitos-mitos Suriah dan Babilonia, dalam karya-karya para sejarawan dan poligraf Arab, dan dalam halaman-halaman pertama Kitab Kejadian sendiri. Sistem ganjil ini disebabkan oleh hukum-hukum susunan intelektual mereka yang sangat berurat akar. Sebab mono­teisme mau tak mau bersifat euhemeris dalam penaksiran­nya terhadap agama-agama mitologis. Tak paham akan divinisasi primitif kekuatan-kekuatan alam, yang merupakan sumber semua mitologi, ia hanya punya satu cara untuk memaknai konstruksi-konstruksi besar kejeniusan kuno ini, yaitu memandang mereka sebagai sejarah yang begitu banyak dibumbui dan sebagai rangkaian begitu banyak manusia yang dipertuhankan.
Judul asli : Monotheism, Absence of Mythology
Monothéisme, Absence de Mythologie<i=1_nUVbiJttKc9JGp5Nfjdo67ENNCmsepv 360KB>Monotheism, Absence of Mythology<br/> Monothéisme, Absence de Mythologie
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, November 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Monoteisme: Kepercayaan Tanpa Mitologi, Mitos, Takhayul

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)