Jelas bahwa kultus seperti ini akan mengandung bahaya yang terus-menerus bertambah, sampai karakter asli dari emblem itu tersamarkan dengan sama penuhnya seperti nama-nama beberapa dewa Vedik ketika dipindahkan ke tanah Hellenik. Tapi mereka belum pernah tersamarkan di India sehebat di kalangan suku-suku Semitik kuno.
Sebetulnya, bukti yang harus memandu kita di awal penyelidikan dapat disediakan oleh sains bahasa saja. Catatan-catatan terawal yang bisa kita semati karakter historis mengacu pada keadaan-keadaan masyarakat yang merupakan perkembangan relatif belakangan. Sejarah kata-kata membawa kita kembali ke zaman di mana tak ada satupun istilah abstrak, di mana omongan manusia mengungkapkan kebutuhan jasmani belaka dan gagasan inderawi belaka, seraya tidak menyampaikan ide moralitas ataupun agama. Jika setiap nama yang di seluruh dunia dipergunakan atau telah dipergunakan sebagai nama Satu Tuhan Kekal, Pencipta dan Pemelihara segala sesuatu, mulanya hanya sebuah nama untuk suatu objek atau fenomena terindera, maka terdapat sebuah zaman yang durasinya tidak bisa kita ukur, tapi yang selama durasi itu manusia belum menyadari hubungannya dengan Kausa besar segala yang dia lihat atau rasakan sekelilingnya. Jika semua kata yang kini menandakan hubungan keluarga dan hubungan pertalian yang paling sakral adalah mulanya nama-nama yang tidak menyampaikan makna khusus tersebut, jika kata “ayah”, “saudara”, “saudari”, “puteri”, adalah kata-kata yang menandakan hanya wewenang atau jabatan orang-orang yang disebutkan, maka ada sebuah masa yang selama itu ide-ide yang kini disematkan pada kata-kata tersebut belum dikembangkan. Tapi keinderawian, yang dalam salah satu hasilnya membuahkan mitologi, mau tidak mau mempengaruhi pertumbuhan keagamaan umat manusia dalam derajat berapapun. Keinderawian ini, yang tak terelakkan di masa bayi ras manusia, adalah menisbatkan kepada semua objek fisik kehidupan yang sama yang manusia sadari. Mereka memiliki segala hal untuk dipelajari dan tak memiliki pengalaman untuk diandalkan, sementara kesan yang ditanamkan pada mereka oleh rupa dan bunyi dunia luar dijadikan sarana menuntun mereka secara bertahap untuk meralat kesan-kesan ini dan untuk menyambut fakta-fakta yang mereka sangkal. Alhasil, tumbuh berdampingan setumpuk nama-nama yang menisbatkan kehidupan sadar pada rombongan langit, pada awan, pepohonan, sungai, dan bunga, dan sekumpulan perasaan sederhana dan tak terdefinisikan, harapan, dan pendambaan yang menuntun mereka secara berangsur-angsur kepada pengakuan sadar akan Satu Kehidupan sebagai sumber semua kehidupan yang mereka lihat di sekeliling mereka. Ungkapan-ungkapan terawal pemikiran manusia yang diwariskan kepada kita tergolong pada periode yang relatif modern; tapi bahkan beberapa dari ungkapan-ungkapan ini sama sekali tak mempertontonkan pendirian ini dengan jernih, mengekspresikan ketakutan dan harapan manusia yang belum memahami gagasan tatanan alam apapun. Kembalinya siang hari mungkin bergantung pada perubahan mood si makhluk semaunya yang mereka saksikan melalui perjalanan cemerlang tapi singkatnya di angkasa. Matahari yang kematiannya begitu sering mereka saksikan mungkin tenggelam ke dalam laut untuk tidak naik lagi darinya. Pertanyaan yang dilontarkan dengan tak sabar di malam hari menampakkan nestapa nyata, dan luapan kegembiraan yang menyambut fajar, meski ini terkesan berlebihan bagi kita, datang dengan jelas dari orang-orang yang alam beri dasar argumen tipis saja dari analogi. Tapi kendati rasa percaya pada tatanan permanen alam tumbuh secara lama atau lamban, fenomena alam menyiratkan pemikiran-pemikiran lain yang menghasilkan buah lebih cepat. Fajar yang pulih membuat orang-orang menua, tapi Fajar sendiri tak pernah kehilangan kesegarannya, dan memancar dari buih laut dengan sama indahnya seperti ketika ia pertama kali menggembirakan mata manusia. Manusia mungkin sakit dan mati, tapi tahun-tahun yang membawa kematian kepada mereka tidak bisa meredupkan cahaya matahari; dan kontras ini menyediakan, dalam kata-kata Profesor Max Müller, “isyarat pertama tentang makhluk-makhluk yang tidak melayu dan melapuk—isyarat tentang makhluk-makhluk abadi, tentang keabadian.” Ketika, dari pemikiran tentang keabadian makhluk-makhluk lain ini, mereka akhirnya bangun dan menyadari bahwa manusia sendiri mungkin termasuk ke dalam bilangan makhluk-makhluk abadi, perasaan itu langsung bertaut dengan satu perasaan lain yang selama ini hampir tidur. Sekali lagi meminjam kata-kata Profesor Max Müller, “melalui aksi penciptaan itu sendiri, Tuhan telah mengungkapkan diri-Nya”; tapi walaupun banyak kata dapat digunakan untuk menandakan “ide tersebut, yang untuk selamanya dicamkan dan ditanamkan dalam pikiran manusia oleh nafas pertama kehidupan, penampakan pertama dunia, kesadaran pertama akan eksistensi”, ide tentang hubungan riil dengan Entitas Tak Berubah ini bisa dibangunkan dalam diri manusia hanya ketika mereka mulai merasa bahwa eksistensi mereka tidak dibatasi jangka waktu beberapa puluh tahun.
Namun, pengaruh dua kali lipat sedang bekerja, dan itu membuahkan hasil yang pada dasarnya sama di kalangan ras Semitik sebagaimana di kalangan ras Arya. Dua-duanya tidak puas dengan akibat-akibat saat mencari sebuah Sebab/Kausa; dan banyak pemikiran perihal hakikat Kekuatan Kreatif ini diekspresikan dalam banyak nama. Dewa-dewa Vedik khususnya memecahkan diri ke dalam sekumpulan istilah belaka, semua menandakan, mulanya, aspek-aspek berlainan dari ide yang sama; dan kesadaran akan fakta ini dibuktikan secara mencolok oleh deretan panjang penafsir belakangan. Pertumbuhan cepat dan dahsyat dari mitologi ribet telah timbul di sekitar nama-nama ini, dan melakukan pekerjaan mautnya pada pikiran orang-orang awam; tapi bagi orang-orang yang lebih berpikir dan lebih jujur, Indra dan Varuna, Dyaus dan Vishnu, tetaplah sekadar istilah-istilah untuk menandakan, walau secara tak memadai, suatu kualitas Hakikat Ilahi. Tapi Indra dan Dyaus mungkin memiliki seratus julukan, dan di Timur dan juga Barat, seiring makna julukan-julukan ini dilupakan sebagian atau seluruhnya, setiap nama jadi menandakan entitas terpisah dan mengesankan sebuah sejarah mitikal terpisah untuknya. Dengan cara itu dewa matahari Hindu Sûrya dilambangkan di kalangan suku-suku Hellenik bukan hanya oleh Helios dan Phoibos, tapi juga oleh Herakles dan Perseus, Theseus and Bellerophôn, Kephalos, Endymiôn, Narkissos, Kadmos, Oidipous, Meleagros, Achilleus, Tantalos, Ixîôn, Sisyphos, dan banyak lagi. Dahanâ Vedik muncul kembali bukan hanya sebagai Daphnê dan Athênê, tapi juga sebagai Eurydikê, Euryphassa, Iolê, Iokastê, Danaê, Briseis, Aphroditê, Europe, Euryganeia, beserta entitas-entitas lain, yang bagi kebanyakan mereka kehidupan memiliki lebih sedikit tawaran sukacita ketimbang dukacita. Tapi walaupun nasib entitas-entitas ini berbeda-beda secara tak tentu, walaupun sebagian dimuliakan ke langit tertinggi dan sebagian lain dijerumuskan ke neraka terbawah dan dihukum dengan jerih-payah tanpa hasil untuk selamanya, tapi mereka semua adalah supermanusia, semua adalah entitas yang dipikirkan dengan rasa takut dan benci jika bukan dengan cinta, dan sebagian dari mereka termasuk dewa-dewa yang melaksanakan perintah Zeus sendiri, atau bahkan cukup kuat untuk menggagalkan kehendaknya. Dengan begitu nama-nama ini bukan lagi sekadar sebutan yang menandakan aspek-aspek berlainan dari karakter entitas yang sama dan dari Dyaus (India), Theos (Yunani), dan Deus (Latin) lahirlah Deva, Theoi, Dii, dan bentuk jamak menstereotip politeisme dunia Arya. Sejarah suku-suku Semitik pada hakikatnya sama. Nama-nama yang mereka gunakan mula-mula hanya sebagai gelar-gelar Tuhan tidak mengalami proses pembusukan fonetik seperti proses yang mengkonversi nama ether berkilau menjadi Dyaus Vedik dan Zeus Yunani. Julukan-julukan Semitik untuk Entitas Ilahi tidak pernah berupa nama-nama sederhana untuk fenomena alam; mereka kebanyakan adalah istilah-istilah umum, yang mengekspresikan kekuatan dan keagungan Tuhan. Tapi meski El dan Baal, Moloch dan Milcom, tak pernah kehilangan makna mereka, ide yang guru-guru mereka hendak sampaikan melalui istilah-istilah ini tetap tertutupi dan tak kelihatan. Setiap julukan kini menjadi nama khusus untuk dewa tertentu, dan masyarakat secara umum tenggelam ke dalam penyembahan banyak dewa seefektif masyarakat suku-suku Arya, dan berpegang pada itu dengan lebih keras kepala. Tidak ada sedikitpun jejak keyakinan monoteistik umum, yang M. Renan anggap sebagai inheren di semua suku Semitik. Dewa-dewa Laban dicuri oleh Rachel, dan Yakub tawar-menawar dengan Tuhan dalam bahasa yang tak hanya menampakkan “ketiadaan keimanan untuk sementara”, tapi juga menunjukkan “bahwa konsepsi Tuhan belum memperoleh universalitas lengkap yang patut disebut monoteisme, atau kepercayaan pada Satu Tuhan”.
Judul asli | : | Sensuous Stage of Language, Aryan and Semitic Monotheism, Ideas and Symbols of Vivifying Power in Nature<i=1dQjp0kEWdS8Hga-sEewMD2BOY9fBs3W0 385KB>Sensuous Stage of Language, Aryan and Semitic Monotheism, Ideas and Symbols of Vivifying Power in Nature (1870) |
Pengarang | : | George William Cox |
Penerbit | : | Relift Media, Oktober 2023 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |