Dua ribu tahun lampau, kata mereka, Yesus mendatangi kematiannya ketimbang mengambil jalan kekuatan fisik untuk mempertahankan dirinya sendiri. Otoritas Romawi membunuhnya. Tapi Kekaisaran Romawi kini mati. Semangat Yesus, dan kekuatan Kristen, akhirnya menaklukkan dan masih terus hidup.
Ketika Perang Dunia II dimulai pada akhir musim panas 1939, banyak pendeta Protestan dan Katolik, sebagaimana di Perang Dunia I, mengambil jalan Muslihat Pemindahtanganan (yang familiar bagi semua penstudi propaganda) untuk membawa prestise, persetujuan, dan otoritas Tuhan kepada kepentingan Jerman, Prancis, dan Britania. Bagaimana pendeta-pendeta di Eropa memanfaatkan propaganda untuk memberi persetujuan Tuhan kepada tujuan perang bangsa-bangsa yang berperang, hal itu dikemukakan oleh Institute for Propaganda Analysis dalam buletin April 1940, berjudul “Tentara Tuhan”.
Sebagaimana ditunjukkan dalam buletin tersebut, banyak gereja dan pemimpin gereja di Amerika, sejak akhir Perang Dunia I, diidentikkan dengan gerakan anti-perang yang kuat. World Tomorrow, Mei 1931, menyampaikan hasil kuesioner yang dibagikan kepada 53.000 pendeta di seantero AS. Terdapat 19.372 jawaban dan dari angka ini 10.427 atau 54 persennya menyatakan “tujuan mereka saat ini adalah untuk tidak mempersetujui perang apapun di masa mendatang atau berpartisipasi sebagai kombatan bersenjata”.
Tapi ketika Eropa saat ini kembali mengalami Armageddon, akankah resolusi kelompok-kelompok gereja Amerika tersebut, yang dibuat di masa damai, dipertahankan di masa perang? Buletin menaksir pandangan ini pada April 1940, dengan menyatakan, “...kekuatan-kekuatan lagi-lagi sedang bekerja untuk membawa AS ke dalam konflik. Sejauh ini gereja-gereja negeri ini telah berdiri kokoh menentang partisipasi apapun dan telah mendakwahkan ajaran perdamaian. Namun, ada tanda-tanda bahwa banyak pendeta di negara ini sedang mulai berubah pikiran tentang perang. Bilangan mereka sedang meningkat...” Dikutip bukti-bukti yang menunjukkan kemiripan dengan masa 1914-1917 di mana mayoritas pendeta Amerika perlahan-lahan jadi memberkati partisipasi kita dalam perang. Itu mengungkap singkat seperti apa persisnya pola propaganda perang banyak gereja dalam Perang Dunia dan itu mengutip beberapa kesebandingan saat ini.
Banyak pendeta memprotes Institute for Propaganda Analysis sudah tidak adil mengimplikasikan banyak dari kaum pendeta mereka bakal sekali lagi mempersetujui perang.
Lalu, pada Mei, mesin perang kuat Hitler menyapu Negara-negara Dataran Rendah (Belanda, Belgia, Luksemburg) dan masuk ke Prancis. Bagaimana Inggis bakal bertahan? Sebagaimana di Perang Dunia I, Inggris dipandang oleh banyak redaktur, presiden perguruan tinggi, pengusaha, dan menteri sebagai “garis pertahanan pertama Amerika”. Wendell L. Willkie dan Franklin D. Roosevelt mencapres, masing-masing menjanjikan semua “Bantuan untuk Britania, kecuali perang”, dalam rangka mempertahankan Amerika.
Kemenangan-kemenangan Hitler, ternyata, mengandung propaganda untuk memberi rasa bahaya yang dekat kepada jutaan orang Amerika. Perasaan ini dengan mudah mengefektifkan propaganda kesiapan perang William Allen White Committee to Defend Amerika by Aiding the Allies. Kongres menyetujui miliaran dolar untuk pertahanan, dan mengesahkan wajib militer masa damai. Presiden meloloskan kesepakatan untuk memberi Inggris 50 kapal perusak Amerika.
Sebagaimana para pejabat pemerintah, redaktur suratkabar, industrialis, dan pendidik membela pertahanan nasional, dengan Bantuan-Untuk-Britania sebagai item utama, begitu pula gereja-gereja dan para pemimpin keagamaan memproklamirkan berkat Tuhan pada kesamaan kepentingan Amerika dengan Inggris.
Menjelang Januari 1941, dengan survei-survei Gallup menunjukkan kenaikan sentimen Bantuan-Untuk-Britania, banyak dari kaum pendeta, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak sekali laporan berita khotbah-khotbah Minggu, mengalihkan restu Tuhan kepada program pertahanan Amerika terhadap Hitler. Beberapa, seperti Uskup William T. Manning dari New York, tampak siap untuk memberikan berkat mereka untuk deklarasi perang terhadap Jerman.
Kendati banyak pendeta Kristen adalah propagandis pendukung perang atau pertahanan nasional bahkan dengan resiko perang, terdapat propagandis Kristen intens dan gigih menentang partisipasi Amerika dalam perang ini, menentang kerjasama dengan Britania, menentang perang secara umum. Tujuan buletin ini adalah menganalisa propaganda anti-perang dalam kelompok-kelompok gereja, sebagaimana tujuan buletin April kami adalah menganalisa propaganda perang.
Ideal Kristen Dalam Konflik
Tradisi-tradisi di dalam gereja-gereja Kristen, berkenaan dengan perang dan damai, adalah beranekaragam dan bertentangan. Yesus yang memegang para penukar uang di kuil dengan keras dan marah adalah Yesus yang sama yang mendakwahkan ajaran kasih, yang menolak tradisi Yahudi bahwa Mesias adalah seorang ksatria, dan yang mengecewakan banyak pengikutnya karena dia menolak memimpin pemberontakan terhadap kekuasaan Romawi. Yesus yang mendakwahkan adilnya kutukan neraka untuk para juru tulis, Farisi, orang-orang kaya, dan orang-orang munafik adalah Yesus yang sama yang berdoa untuk orang-orang yang menyalibnya: “Bapak, ampuni mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Sentiman non-perlawanan berlandaskan ajaran-ajaran Yesus di Gereja Kristen primitif awal sangatlah kuat: Kasihi musuh-musuhmu, berikan pipi kiri. Banyak dari bapa-bapa Gereja awal mengekspresikan sentimen pasifis ini. Origen, contohnya, menulis di abad ketiga, “Kita (Kristiani) tidak lagi menghunuskan pedang terhadap bangsa, pun kita tidak lagi belajar perang...demi Yesus yang merupakan pemimpin kita.” C. F. Cadoux, pakar mengenai Kristen awal, mengakui Militia Christi karangan Adolf Harnack dengan pernyataan: “Etika Kristen melarang perang sama sekali bagi umat Kristen.” Akan tetapi, di bawah Konstantin, Kristen menjadi agama Negara, dan Gereja berangsur-angsur mengubah filosofinya terkait perang. Ia mulai mempersekusi sekte-sekte lain. Ia mulai memberi berkatnya pada kekuatan militer Negara. Meski demikian, etika Kristen awal yang melarang perang dipertahankan. Itu barangkali paling terwakili dalam ajaran historis kaum Quaker, Gereja Menonit, dan Gereja Saudara Seiman. American Friends Service Committee menyatakan:Jauh sejak berabad-abad lalu telah ada orang-orang yang merasa tak mampu mengambil nyawa sesama mereka entah untuk memajukan keuntungan mereka sendiri atau atas perintah otoritas eksternal. Yang menonjol di antara motif-motif mereka adalah konsep keagamaan, berdasarkan kesadaran akan Tuhan dan pengakuan akan persaudaraan manusia. Bagi Kristiani, Yesus Kristus telah menafsirkan cara hidup berlandaskan kasih Tuhan dan manusia, dan ide mengatasi keburukan dengan kebaikan. Mengingat kesadarannya akan Tuhan dan rasa kesetiaannya yang tinggi pada Yesus, pasifis Kristen membentuk sebuah penilaian perihal apakah perang adalah alat yang tepat dan efektif untuk manusia gunakan dalam meraih tujuannya. Penilaiannya adalah bahwa itu tidak demikian. Penilaian ini turut dimiliki oleh sebagian besar umat manusia hingga masa ketika mereka merangkul metode perang, karena dicengkeram ketakutan atau kebencian atau ketamakan. Pasifis mempertahankan kepercayaan-kepercayaan ini bahkan di hadapan perang, ancaman agresi atau keburukan lain.Di luar jemaat Quaker dan Menonit, mengikuti garis pasifis mereka dan mencoba meyakinkan orang lain lewat propaganda untuk mengikutinya, adalah ratusan pendeta Amerika. Beberapa dari mereka, seperti Ralph Sockman, Allan Knight Chalmers, John Haynes Holmes, Harry Emerson Fosdick, Kirby Page, Ernest Fremont Tittle, Robert W. Searle, Halford E. Luccock, dan George Butffick, adalah tokoh-tokoh nasional. Secara angka, mereka menyusun hanya minoritas kecil pendeta Amerika. Kendati efektivitas mereka sebagai propagandis dibatasi oleh keseganan banyak suratkabar dan stasiun radio untuk menyebarkan pandangan pasifis, mereka menjangkau kelompok-kelompok besar dan berpengaruh lewat khotbah, konferensi, dan pertemuan perdamaian. Namun, pasifisme mewakili hanya salah satu dari sikap-sikap Kristen terhadap perang. Kebanyakan Kristiani menerima tradisi yang berakar dari St. Agustinus, yang meyakini Negara berkewajiban secara moral untuk melindungi warganya dari serangan bangsa-bangsa lain. Dia juga menyetujui perang punitif yang dilangsungkan untuk pemulihan keadilan. Dengan kata lain, bagi kebanyakan Kristiani, ada yang namanya perang pantas. Untuk perang demikian, atau persiapannya, para pendeta yang memegang pandangan ini memberikan persetujuan mereka dan persetujuan Tuhan. Pandangan ketiga, yang dipegang oleh para Lutheran, adalah pandangan hak ilahi Negara: ketika Negara mendeklarasikan perang, individu mesti tunduk pada kehendak kolektif.
Apakah Perang Ini “Pantas”?
Terakhir, ada pandangan orang liberal yang meyakini kemenangan final nalar manusia atas kekerasan. Namun, dia condong menitikberatkan sebuah pasukan polisi internasional untuk memelihara ketertiban di antara bangsa-bangsa. Dia juga meyakini perang “pantas”. Bapak mazhab pemikiran ini adalah Hugo Grotius yang merupakan penyokong kukuh hukum internasional. Pdt. Frank Kingdom, Metodis, kelahiran Britania, kini eksekutif William Allen White Committee cabang New York, memandang perang saat ini terhadap Hitler sebagai “pantas”, dan mempropagandakan demikian. Juga penganut perang “pantas” adalah Pdt. Harry F. Ward, Metodis, kelahiran Britania, dari Union Theological Seminary dan sekretaris Methodist Federation for Social Service. Pdt. Ward mendakwahkan penerapan sosialisme sedunia, sudah lama berteman dengan Uni Soviet. Perang saat ini, pandangnya, tidak “pantas”, tapi “perang yang dilangsungkan oleh Tentara Rakyat, dengan tujuan umum mempertahankan dan memperluas hak-hak demokrasi semua orang”, adalah hal yang agak berbeda. Jika kita menolong Inggris untuk menang, terang Pdt. Ward, kita masih akan harus berhadapan dengan para pemimpin industrinya yang, beberapa minggu sebelum Munich, bertemu dengan para pemimpin industri Jerman untuk membagi pasar Amerika Selatan di antara sesama mereka dengan mengorbankan Amerika. Pandangan Pdt. Ward mengenai perang ini dinyatakan dalam buku anyarnya, Democracy and Social Change:Antagonisme antara masyarakat kapitalis dan sosialis yang merugikan Uni Soviet menambah daya tarik keagamaan pada hasutan moral semangat perangnya. Tidak ada seruan perang yang seefektif panggilan perang suci dalam membangkitkan respon fanatik. Itu sudah dilancarkan terhadap orang-orang Komunis di luar negeri dan orang-orang Merah di dalam negeri oleh para demagog kita, baik Protestan maupun Katolik. Berjuta-juta telah siap untuk menyahutnya dengan kampanye Vatikan terhadap Komunisme ateistik, penghancur agama dan Tuhan. Seruan ini menyembunyikan kepentingan-kepentingan kekayaan yang terlibat untuk gereja maupun para kapitalis, dan tanggapan terhadapnya dipertambah oleh ketakutan umum akan perubahan dan kekecewaan para idealis yang menyangka Uni Soviet akan bertindak secara independen dari hukum negara dan sebuah dunia yang dikendalikan oleh politik kekuasaan.American Peace Mobilization, yang, menurut Herald Tribune New York, “dicap sebagai organisasi kedok Komunis oleh agensi-agensi penyelidik pemerintah”, menentang “perang tak pantas” dan agaknya mendukung perang “pantas”. Keanggotaannya mencakup beberapa pendeta. Pdt. John B. Thomson, Presbiter, dari Oklahoma City, adalah direktur komite keagamaannya. Lembaga ini merasa pencabutan atau penghindaran UU Johnson, UU Netralitas, atau langkah serupa lain “menempatkan kita semakin dekat dengan jurang perang”. Ia menilai kebijakan luar negeri Presiden pasti membawa kepada “perang dan kehancuran demokrasi”.
Dilema Kristen
Sejarah gerakan anti-perang menunjukkan, gereja-gereja di abad lalu menyampaikan banyak sekali resolusi menentang perang secara umum, tapi, ketika timbul kejadian, mereka biasanya berubah pikiran jadi menyokong perang-perang secara khusus. Lihatlah Perang Sipil Amerika dan Perang Dunia. Tumbuh kontradiksi dari tradisi-tradisi pasifisme Kristen yang bertentangan, perang pantas, hak ilahi Negara, dan hukum internasional. Selama tahun-tahun kekecewaan yang menyusul perang 1914-1918 “untuk mengakhiri semua peperangan”, gereja-gereja hampir serempak bangkit dan mencela perang sebagai “sebuah dosa terhadap Tuhan”. General Council of the Congregational and Christian Churches pada 1934 mendeklarasikan: “Gereja selesai urusan dengan perang” dan meminta gereja-gereja “untuk menanggalkan perang dan semua pekerjaan dan kebiasaannya dan menolak mendukung atau mempersetujui, atau memberkatinya”. Para moderator dan pejabat tinggi tiga puluh denominasi di tahun yang sama menerbitkan pernyataan publik: “Jika yang lain menyerah kepada keniscayaan perang, kami semakin harus melihat jernih dan berkata berani bahwa semangat perang dan semangat Kristus tidak pernah bisa diakurkan dan bahwa kami tidak bimbang harus memilih yang mana.” House of Bishops of the Protestant Episcopal Church dalam sebuah surat pastoral menyatakan: “Salib lebih tinggi dari bendera” dan “dalam persoalan apapun antara negara dan Tuhan, tugas jelas Kristiani adalah menempatkan ketaatan pada Tuhan di atas setiap loyalitas lain”. Semua ini adalah beberapa sampel yang dipilih acak dari koleksi karangan Dr. Walter W. Van Kirk dalam Religion Renounces War-nya.Judul asli | : | Religious Propaganda Against the War<i=1RGXbg_CXnLWQSUzzjf39xxF9LYpUXEEY 334KB>Religious Propaganda Against the War (1941) |
Pengarang | : | Institute for Propaganda Analysis |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2023 |
Genre | : | Sosial |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |