Pola ini adalah pola familiar yang diambil dari literatur apokalips Bizantium: yaitu translatio imperii (pemindahan kekuasaan), atau lebih akuratnya citra Kerajaan mengembara—Kerajaan atau kota yang mengembara atau kesasar sampai tiba saatnya untuk ia melarikan diri ke gurun.
Invasi Tatar adalah bencana nasional dan malapetaka politik. “Penghancuran tanah Rusia,” demikian seorang rekan sezaman mengungkapkannya. “Sebuah momok pagan.” “Sebuah bangsa kejam menyerbu kita, melanggar Tuhan dan memporakporandakan tanah kita.” Tak usah mencerahkan warna-warna saat melukiskan pengrusakan dan penghancuran demikian.
Akan tetapi, kuk Tatar bukan merupakan periode terpisah dalam sejarah kebudayaan Rusia. Tidak terlihat ada sela atau jeda dalam upaya kultural Rusia atau dalam
mood dan aspirasi kreatifnya. Benar, kebudayaan berpindah atau terpindahkan ke utara. Pusat-pusat baru berkembang, sementara yang lama merosot. Tapi pertumbuhan baru ini timbul dari benih-benih yang ditabur dan ditanam sebelumnya, bukan dari “penularan pencerahan” dari selatan Kiev yang berbudaya ke timurlaut yang semi-barbar, sebagaimana beberapa sejarawan suka gambarkan bahkan hingga baru-baru ini. Utara sudah sejak lama tak lagi liar dan antah-berantah. Terletak mengangkangi sebuah persimpangan utama, tanah Suzdal hampir tidak berdiri sebagai pos terdepan yang sunyi.
Bagaimanapun, abad 13 bukanlah waktu kemerosotan atau pemelaratan dalam sejarah budaya dan sastra Rusia. Serangkaian penting tugas-tugas ideologis dan kultural dimulai pada saat itu dan mencakup Paterikon Biara Gua-gua, Palaea (Perjanjian Lama), dan sederet polemik anti-Yahudi, belum lagi level njlimet penulisan kronik yang sudah dicapai. Seawalnya abad 13 kita mendeteksi di dalam karya-karya sastra ini ikatan-ikatan baru dengan selatan Slavik dan pesisir Dalmatia. Pada abad berikutnya ikatan-ikatan ini menguat dan berkembangbiak, memungkinkan kita untuk menyebut gelombang baru pengaruh “Slavik Selatan”. Dan vitalitas baru ini tidak hanya menggaungkan tapi secara langsung melanjutkan gerakan kultural baru di Bizantium yang dengan tepat diistilahkan sebagai “Renaisans Palaeologia”, yang memikat kerajaan-kerajaan baru Slavik Selatan. Rus’ berhubungan karib dengan Patriark Euthymius dari Bulgaria pada abad 14, dan untuk alasan ini contoh dari Metropolit Kiprian mengandung pelajaran. Dia dilahirkan di Trnovo. Belakangan dia menjadi biarawan di Studion Monastery dan kemudian biarawan di Gn. Athos. Sebagai anak didik dan kandidat Yunani, dia datang ke Rusia untuk menduduki jabatan metropolit. Moskow menerimanya dengan sangat enggan dan lamban. Tapi penerimaan ini tidak menghalanginya meninggalkan tanda signifikan pada sejarah kebudayaan Rusia. Sebagai orang terpelajar dan bibliofil, Kiprian mencurahkan diri pada penerjemahan, namun tidak sukses besar. “Dia menulis segalanya dalam bahasa Serbia.” Yang lebih penting adalah tulisan-tulisan dan perhatian liturgisnya. Dia berupaya memperkenalkan Rusia kepada reformasi liturgis sang Palamit, Patriark Philotheus dari Konstantinopel. Akan tampak bahwa perayaan Gregorius dari Palamas sebagai santo di Gereja Rusia bermula dari Kiprian. Kiprian adalah seorang non-posesor yang yakin. Dia juga orang asing dan pendatang baru di Moskow, dan cukup tipikal dari gerakan baru jadi yang tidak dia rintis. Pertalian Rusia dengan Konstantinopel dan Gn. Athos diperkuat dan direvitalisasi pada abad 14. Permukiman-permukiman Rusia didirikan dan diperbaharui lagi, didiami oleh banyak penghuni yang melakukan penyalinan buku-buku. Kita melihat banyak manuskrip dan buku di perpustakaan-perpustakaan biara Rusia yang bermula tepat dari periode ini. Yang lebih penting, tulisan-tulisan baru ini membentuk arus segar baru. Kali ini kandungan mereka bersifat mistik dan asketik, tapi sekali lagi mereka menyusun literatur lengkap. Bahkan, aktivitas penerjemahan baru di Gn. Athos dan di Bulgaria ini berakar dari gerakan Hesyachasm dengan semangat dan pendekatannya yang sangat kontemplatif. Penerjemahan-penerjemahan ini menghasilkan karya-karya para Bapa asketik yang dikenal dalam literatur Slavik. Karya-karya tersebut meliputi dua homili mengenai paus berjudul
De Jejunio karya St. Basil Agung, tulisan-tulisan Diadochus yang Diberkati dari Photiki, Ishak orang Suriah, Hesychius,
Ladder-nya St. Yohanes Klimakus,
On Love (
O liubvi) dan “Chapters” (Glavizny) karya Maksimus Pengaku Iman, dan berbagai “Hymn of Divine Love” karya Simeon Sang Teolog Baru, serta
Dioptra karya biarawan Filipus. Yang terutama mencolok adalah penerjemahan Areopagite bersama dengan ulasan-ulasan yang dibuat di Gn. Athos pada 1371 oleh biarawan Yesaya atas permintaan Metropolit Serres. Seseorang di Rusia membaca buku-buku mistik dan asketik tersebut.
Pada abad 14 terjadi renaisans eremitik dan kebiaraan; ini adalah zaman St. Sergei dari Radonezh. Pada dasawarsa-dasawarsa ini kita merasakan intensitas kuat sebuah dampak baru Bizantium dalam seni Gereja Rusia, khususnya ikonografi. Cukuplah menyebutkan Theophanes si Yunani hebat dan selebrasinya dalam warna-warna. Dan Theophanes tidak sendirian, sebab dia memiliki banyak murid terhormat. Dengan demikian, pada abad 14 dan separuh abad 15, kebudayaan Rusia mengalami gelombang baru pengaruh Bizantium.
Tapi pengaruh baru tersebut terjadi menjelang krisis dan keretakan. Benar, krisisnya memakan waktu lama dalam penyusunannya, tapi sadar diri kultural belum siap untuk tiba. Krisis itu terutama adalah krisis kebangsaan dan politik yang tertaut dengan pertumbuhan Negara Moskovit dan dengan menyingsingnya kesadaran diri politik kebangsaan. Kebangunan tersebut juga menuntut kemerdekaan gerejawi dari Konstantinopel. Dengan beberapa sela, tapi selalu dengan ketajaman dan intensitas hebat, Moskow dan Konstantinopel memperdebatkan tema-tema ini sepanjang abad 14. Pertengkaran itu terpotong alih-alih terselesaikan. Konsili Firenze dan perjalanan kandidat Yunani untuk kepausan Moskow (Metropolit dan belakangan Kardinal Isidore) ke “konsili ke-8 tak suci” itu menjadi dalih untuk keretakan. Kemurtadan Yunani di Firenze menyediakan justifikasi dan dasar untuk memproklamirkan kemerdekaan. Itu adalah tindakan politik gerejawi. Tapi terdapat gema dan akibat untuk pembangunan kultural. Keraguan dan kegelisahan mengenai keimanan Yunani memiliki suatu landasan rasional. Kejatuhan Konstantinopel menjadi pertanda dan bukti apokalips (dan itu ditafsirkan demikian bukan hanya di Rusia). Jauh lebih belakangan lagi, Kurbskii menulis bahwa “Setan terbebas dari penjaranya”. Kita harus ingat betapa pada abad 14 dan 15 kesadaran keagamaan jadi sangat terhasut dan terbingungkan oleh harapan-harapan eskatologis dan oleh ramalan umum: “Malam sedang mendekat, hidup kita sedang berakhir.” “Lihat, hari ini kemurtadan datang,” tulis Joseph Volotsky segera.