Mereka hanya bisa merintangi pengembangan sebuah komunitas yang mengutamakan kebaikan bersama di atas kebaikan individu, dan yang menuntut seseorang melayani komunitas bahkan dengan mempertaruhkan nyawanya. Ini adalah satu alasan lain atas kegagalan AS mengembangkan sebuah bangsa.
Ketika bicara tentang bangsa Jerman, kita sedang berurusan dengan kelompok bangsa tetap yang didefinisikan oleh sifat dan teritori mereka. Biasanya terdapat hubungan “alami” antara sebuah bangsa dan teritorinya, sehingga penyebutan bangsa tersebut mengingatkan sebuah wilayah teritorial. Di bagian dunia yang satu ini, dengan iklimnya, keindahannya, dan alamnya, terdapat sejarah bangsa tersebut. Di sini penduduknya menemukan sumber kekuatan mereka. Di sini tengara kulturalnya memberi bukti semangatnya. Di sini mitos-mitos dan fabel-fabelnya berakar dari masa lalu yang jauh.
Hubungan demikian antara bangsa dan ruang tidak eksis di AS. Mereka tak memiliki mitos dan fabel, hanya fakta. Mereka loncat langsung ke tengah-tengah sejarah—satu-satunya contoh dalam sejarah dunia di mana pengembangan sebuah sistem pemerintah dan sebuah “bangsa” bisa ditinjau oleh para sejarawan dari awal sekali.
Sejarah sistem pemerintahan ini dimulai dengan sejarah kolonial Inggris. Namun, jauh sebelumnya, orang-orang Eropa lain sudah berkontak dengan benua Amerika. Bangsa Viking dari Greenland mencapai Amerika Utara seawalnya sejak tahun 1.000. Kunjungan kedua juga datang dari utara Jermanik, saat dua orang Jerman, Pining dan Pothorst, mendarat di Newfoundland untuk melayani Denmark. Akan tetapi ini hanya episode-episode singkat. Baru dengan Columbus-lah Amerika memasuki kesadaran Eropa. Columbus juga merupakan alasan mengapa Spanyol untuk sesaat menjadi kekuatan utama Eropa di dunia baru itu, kendati seawalnya sejak 1497 Inggris di bawah Cabot tiba dan menduduki Labrador dan Newfoundland. Mereka harus berbagi Newfoundland dengan Prancis pada awalnya. Perkembangan Amerika Utara, begitu Spanyol lebih berpaling ke Amerika Tengah dan Selatan, ditentukan oleh pergumulan antara Inggris dan Prancis. Para pelaut Inggris telah menduduki sebagian Pesisir Timur menjelang akhir abad 16. Dengan bantuan organisasi-organisasi dagang, tanah itu dikolonisasi dan dikembangkan. Sebuah koloni dagang modern Inggris berkembang.
Itu berubah saat kaum Puritan pertama, yang disebut Peziarah, tiba pada 1620. Dari awal, tujuan kolonisasi mereka di Dunia Baru adalah untuk membebaskan diri dari ibu pertiwi Inggris, yang mereka tinggalkan karena kepercayaan sektarian mereka. Akan tetapi, mereka tidak bisa membebaskan diri dari fitrah rasial mereka, pandangan dan sikap Inggris tulen mereka yang mempengaruhi setiap bidang kehidupan mereka. Itu memberikan karakteristik khas mereka pada koloni-koloni tersebut. Itu juga tidak bisa menghentikan orang-orang Jerman untuk berkoloni di Pesisir Timur Amerika Utara, khususnya di Pennsylvania, yang telah dikoloni oleh pemimpin kaum Quaker sabar, William Penn. Mereka lebih toleran terhadap perbedaan agama daripada kaum Puritan. Pennsylvania adalah koloni pertama yang tidak lagi dikoloni secara eksklusif oleh Inggris.
Perkembangan pada dasawarsa-dasawarsa berikutnya dipengaruhi oleh konflik antara Inggris dan Prancis. Prancis telah mengklaim seluruh lembah Sungai Mississippi pada 1700. Itu meliputi koloni-koloni Inggris di utara maupun selatan. Setelah perebutan panjang dan sengit yang mencerminkan konflik di Eropa, Inggris berhasil mengusir para pendatang baru itu. Masalah sesungguhnya diselesaikan dengan Perdamaian Hubertusberg, yang mengakhiri Perang Tujuh Tahun. Prancis terpaksa menyerahkan Kanada dan seluruh tanah di timur Mississippi kepada Britania Raya.
Setelah Britania menyingkirkan Belanda, yang mengkolonisasi Manhattan Island dan New Amsterdam, belakangan disebut New York, Inggris menjadi kekuatan dominan di benua Amerika Utara. Akan tetapi, kesulitan baru segera timbul, kesulitan dari dalam. London melalaikan fakta bahwa koloni-koloni telah berubah dari pos-pos dagang terdepan menjadi koloni-koloni agraria. Tanah dikendalikan bukan oleh pemilik perkebunan asing, tapi oleh para penetap lokal. Inggris yakin bisa terus memperlakukan mereka sebagai pos dagang terdepan, yang mengakibatkan perlawanan dari para kolonis. Dalam Perang Kemerdekaan (1776 sampai 1783), “Negara-negara” itu memenangkan kemerdekaan mereka.
Usai Perang Kemerdekaan, perkembangan menempuh arah berbeda sama sekali: Koloni Inggris asli menjadi koloni Eropa. Perubahan ini menyediakan dasar untuk pendirian populasi yang kurang-lebih terpadu secara rasial yang memiliki pertalian dengan teritori. Para imigran Jerman, terutama, mencoba menyesuaikan diri dengan tanah baru. Syarat lain, sebuah populasi yang disatukan oleh darah yang sama, juga hadir. Akan tetapi, situasi ini berubah secara fundamental sebagai akibat dari imigrasi berketerusan. Ada tiga periode umum imigrasi, masing-masing dengan karakteristiknya sendiri yang sesuai dengan sifat arus imigran.
Di periode pertama, yang berakhir dengan Perang Kemerdekaan, elemen Anglo-Saxon dominan, meski sudah ada sekitar 250.000 orang Jerman di Amerika.
* Penerjemahan atas seizin Randall L. Bytwerk
Judul asli | : |
Failures in Building an American People Fehlerquellen im Aufbau des amerikanischen Volkstums<i=1J-viurpqrfN5xMsVnjuiUsO4QRBDM9Gt 327KB>Failures in Building an American People<br/> Fehlerquellen im Aufbau des amerikanischen Volkstums (1942) |
Pengarang | : | Robert Ley |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2023 |
Genre | : | Sejarah |
Kategori | : | Nonfiksi, Pamflet |