Hutan-hutan gelap Jerman didiami oleh sebuah ras manusia yang dengannya bangsa Romawi, di masa Republik mereka, melangsungkan persaingan ragu-ragu; persaingan antara sebuah bangsa merdeka yang galak dalam semangat takhayul gemar perang.
Hutan-hutan gelap Jerman didiami oleh sebuah ras manusia yang dengannya bangsa Romawi, di masa Republik mereka, melangsungkan persaingan ragu-ragu; persaingan antara sebuah bangsa merdeka yang galak dalam semangat takhayul gemar perang dan para budak Roma penakut yang terbiasa merunduk di bawah setiap libertin atau tiran yang menindas mereka, tidak bisa ragu-ragu untuk waktu lama.
Tatakrama bangsa Jerman telah dilukiskan oleh Tacitus, sejarawan paling filosofis. Mereka memilih Raja-raja mereka atas dasar nasab mulia mereka; pemimpin mereka untuk keberanian pribadi mereka. Meja ketua mereka berperabot primitif, tapi itu diperaboti dengan melimpah. Para prajurit yang ikut menikmati pesta jamuannya, dan menerima darinya kadang seekor kuda yang dilatih untuk perang, kadang sebilah tombak kemenangan dan berdarah, memuaskan nafsu kesukaan mereka dalam keuntungan yang mereka hasilkan dari pengabdian militer. Urusan-urusan sepele diputuskan oleh para ketua mereka, tapi semua hal penting ditentukan oleh Majelis Umum; di sini pula mereka memilih pemimpin. Medan tempur adalah satu-satunya jalan kenaikan pangkat, dan satu-satunya metode untuk meraih restu para Dewa adalah keberanian.
Pendidikan bangsa Jerman memberi mereka kekuatan dan perawakan, dan kekuatan mereka dilestarikan melalui pemantangan luar biasa yang membedakan mereka dengan begitu istimewa dan terhormat. “Tapi tidak ada,” kata Tacitus, “satupun yang menertawakan keasusilaan; dan menyimpang dan disimpangkan tidak disebut mode.” Mereka memandang kaum wanita sebagai imbangan dan pendamping mereka, dan siapapun yang mengharapkan cinta seorang wanita, terlebih dulu membuat dirinya layak dihargai oleh si wanita. Mereka menganggap diri mereka difavoritkan oleh para Dewa, dan kita sering menemukan penyebutan bagaimana Nabi-nabi perempuan menyertai bala tentara mereka. Ini bukan hal luar biasa, sebab mereka senantiasa berperang atau berburu. Mereka menyerahkan kajian obat herbal dan pokok pengobatan kepada kaum wanita; dan seni ini misterius dan kejadiannya juga sering. Kaum wanita dihormati, dan karenanya mereka menjadi terhormat.
Telah ditinjau “bahwa keadaban hidup jadi menyimpang saat mereka memoles hubungan antar jenis kelamin”; dan kemiskinan hebat Jerman telah disebutkan sebagai satu penyebab perpantangan bangsa Jerman. Jika keadaban terkandung dalam “hiburan mewah, tari-tari tengah malam, dan tontonan jangak”, kita dapat bersepakat dengan Gibbon bahwa mereka menghadirkan godaan dan sekaligus peluang bagi kelemahan moril, tapi itu hanya bisa disebut keadaban yang, dengan memperkuat intelek, memurnikan tatakrama. Semua hal lain melemahkan dan membejadkan. Jika sebuah akal yang terlatih dalam rutin etiket dan keremehan sopan-santun, dan sebuah tubuh yang dilemahkan oleh kelesuan cara, merupakan keadaban, maka aku harus beralih merenungkan harkat wanita di tenda seorang barbar.
“Tapi (kata sang sejarawan) pahlawan-pahlawan perempuan dengan peran seperti itu dapat menuntut rasa kagum kita; tapi mereka sangat pasti tidak cantik dan tidak pula dapat dicintai. Saat mereka berpura-pura meniru kebajikan keras
pria, mereka pasti membuang kelembutan luwes yang di dalamnya, pada prinsipnya, terkandung pesona dan kelemahan
wanita.” Tentang ini aku harus sependapat dengan Mary Woolstonecraft, “bahwa itu adalah filosofi sensualitas”. Kaum wanita Jerman adalah pendamping bebas dan setara untuk suami mereka; mereka diperlakukan oleh suami mereka dengan hormat dan percaya, diajak berunding di setiap kesempatan penting. Lalu, apa sih cinta ini, yang mana wanita kehilangannya dengan menjadi terhormat?